PULANG dari lapangan bola, aku menemukan adikku Ariel sedang duduk di ruang tamu asyik bermain games dengan hapenya. Karena aku sudah kebelet ingin pipis, aku tidak sempat bertanya lagi pada Ariel Mama pergi kemana, aku segera memburu ke kamar mandi.
Pintu kamar mandi tidak tertutup rapat, dan kamar mandi juga sepi. Pikirku tidak ada orang di dalam kamar mandi. Secepatnya aku mendorong pintu kamar mandi.
“E... ada Mama...!” seruku kaget melihat Mama sedang mengeringkan tubuh telanjangnya yang basah dengan handuk menghadap ke arah bak mandi. Otomatis aku melihat tubuh Mama yang telanjang meskipun dari belakang.
“Mandi...” suruh Mama membungkus tubuhnya yang telanjang dengan handuk yang kecil.
“Mau ngapain sih suruh mandi, aku mau pipis.” kataku. "Mama mau mandiin...?" tanyaku.
"Mama mau minta kamu antar Mama ke rumah sakit. Mama nggak tau tempatnya.” jawab Mama.
“Mama keluar dulu dong..."
“Kan bisa di situ...” tunjuk Mama menurunkan pakaian kotornya ke ember.
Berhubung aku sudah sangat ingin pipis, aku masuk saja ke kamar mandi mengeluarkan penisku dari celana bolaku berdiri membelakangi Mama, lalu kencing, sedangkan Mama merendam pakaian kotornya dengan deterjen di ember.
“Lepaskan pakaianmu sekalian...” suruh Mama. “Biar Mama bisa rendam, nanti pulang dari rumah sakit tinggal Mama cuci, besok pagi Mama sibuk ada pesanan kue.”
Terus aku melucuti pakaianku hanya tinggal celana dalam. "Itu..." tunjuk Mama ke celana dalamku.
"Boleh...?"
"Kan kamu bisa menghadap kesana..."
Aku melepaskan celana dalamku memberikan pada Mama. Mama merendam pakaianku bersama pakaiannya di ember sambil membungkuk. Posisinya itu memberikan aku pemandangan yang indah.
Selain pahanya yang mulus, dengan sedikit menunduk, aku bisa melihat vagina Mama yang tembem terjepit di antara kedua pahanya bersama sedikit bulu kemaluannya yang mengintip dari atas belahan vaginanya yang tertutup rapat berwarna coklat.
Penisku langsung tegang!
"Mandi yang bersih..." suruh Mama.
Setelah berkata begitu, Mama mau keluar dari kamar mandi, tanganku segera terjulur merangkul pinggangnya dengan posisi bertolak belakang, aku menghadap ke bak mandi, sedangkan Mama menghadap ke pintu kamar mandi. "Mandiin dong, Ma..."
"Nggak, apa kamu nggak punya tangan mandi sendiri...?" gerutu Mama. "Mama nyuruh kamu mandi ini, kan biar cepet... kamu selesai mandi, Mama sudah rapi. Mama tinggal tunggu kamu berpakaian, lalu kita berangkat..."
"Ya sudah..." jawabku melepaskan Mama pura-pura kecewa.
"Mama panasin nasi dulu..." kata Mama. "Biar Ariel bisa makan, nggak usah nunggu kita pulang dari rumah sakit. Kita pulang entah jam berapa..."
Mama keluar dari kamar mandi, aku segera menyiram tubuhku yang telanjang dengan air. Sebentar kemudian, Mama mendorong pintu kamar mandi. "Sudah...?" tanya Mama masih memakai handuk, lalu Mama masuk ke kamar mandi, mengunci pintu kamar mandi dari dalam.
Jantungku berdebar kencang, kemudian aku memeluk Mama dan mencium pipinya. "Terima kasih, Ma..." ucapku.
"Jangan berisik..." suruh Mama menjangkau botol sabun cair di rak. "Hadap sana, Mama sabunin belakang dulu..." kata Mama setelah sabun cair sudah berada di telapak tangannya.
Mama menyabuni punggungku. "Hadeh... kotor, bagaimana sih kamu mandi setiap hari..?" Mama menyuruh aku jangan berisik, tapi ia yang ngedumel panjang lebar. "Airnya bisa ngeracuni ikan sekolam...!"
Aku diam saja tidak menjawab. Tangan Mama yang menyabuni bagian belakang tubuhku turun ke pinggangku, ke pantatku, lalu di kedua kakiku.
"Sudah, bagian depan kamu sendiri, ya...?" kata Mama. Aku tau ia tidak mau melihat penisku.
Tetapi Mama tidak mungkin keluar dari kamar mandi dengan tangan kotor berlumuran busa sabun. Mama lalu menjulurkan tangannya dari belakang hendak mengambil gayung di tepi bak. Saat itulah aku segera memegang tangannya.
"Tuh... tuh... tuh... ahh... mau ngapain sih...?" kata Mama uring-uringan.
"Bangunin..."
"Ah... kenapa dibanguni...? Kamu ini ada-ada saja, deh... sudah sore juga..."
"Kan bisa besok ke rumah sakitnya, Ma... siapa sih yang sakit...?"
"Tante Ully... kan Mama gak enak..." jawab Mama sambil mengocok penisku dengan busa sabun mandi. "Ia sekali ngambil kue sama Mama bisa banyak... buat teman-teman kantornya... keluarin cepet... shhhh... sudah keras banget..."
"Ohh.. enak Mah, kocokan Mamah... sebentar lagi Mah, keluar... terus kocok, Maa..ahh..." racauku merasa nikmat.
Aku menjulurkan tanganku memegang pantat Mama, Mama mendiamkan tanganku. Lalu aku menaikkan handuknya, jariku segera masuk ke sela pantatnya mengelus anusnya.
"Wik-wik, Mah..."
Mama menghentikan kocokannya memandangku. "Memang kamu mendapat pelajaran begitu di kampus...?" tanya Mama. "...apa belajar dari temanmu sampai mau begituin Mama...? Kan Mama sudah bantu ngocok, nggak puas ya ngocok...? Kasihan sama burungmu ini... sudah keras... gagah... dimasukin ke tempat Mama yang sudah jelek... bekas papamu... nggak jijik...???"
"Maaf kalau gitu ya, Mah..." ujarku.
"He.. he... sudah loyo..." Mama memandang penisku yang menggantung. "Takut ya sama Mama... maaf, ya... kasihan..." kata Mama mendekatkan bibirnya yang kering dan pucat itu ke bibirku, cupp... Mama memberikan kecupan pada bibirku.
Aku segera memeluk Mama, Mama membalas memeluk aku. "Sayang..." desah Mama pelan di depan telingaku. "Selesaikan mandimu... Mama tunggu kamu di kamar, ya..."
Mama melepaskan aku. Mama membuka pintu kamar mandi, lalu pergi dari kamar mandi. Aku meneruskan mandiku sampai selesai.
Karena aku tidak membawa handuk, aku keluar dari kamar mandi dengan telanjang dan tubuh yang basah mengambil handuk di gantungan. Aku keringkan tubuhku, lalu membungkus tubuhku yang telanjang dengan handuk.
"Hans..." panggil Mama dari kamar.
"Kenapa, Ma...?" tanyaku pergi ke kamar Mama.
"Handphone Mama mati, kenapa ya?" tanya Mama memberikan hapenya padaku.
Wajah Mama sudah dilapisi bedak tipis, dan bibirnya merah dipoles gincu. "Mama cantik..."
"Iya dong... masa di depan anak Mama, masa Mama nggak berdandan sih? Kan kamu mau bercinta sama Mama...?"
Kulepaskan hape Mama di bangku, lalu aku segera memeluk Mama menjatuhkannya ke kasur, menindihnya dan mencium bibirnya.
Bibir kami langsung melumat liar sampai napas Mama mendengus-dengus keluar dari hidungnya. Pasti Mama sudah sangat sangat napsu. Lidahnya meliuk-liuk di rongga mulutku.
Aku segera menarik lepas handuknya dan juga handukku. Kuremas teteknya yang sudah telanjang bebas di depanku. Mungkin sudah jam 05:30 sore. Aku tidak bertanya pada Mama jadi ke rumah sakit atau tidak.
Mama sudah tenggelam dalam napsunya sewaktu kuhisap puting susunya dan jariku masuk ke lubang vaginanya yang basah meraih rahimnya.
Mama menggelinjang, "Ohhh...!" rintihnya. "Masuk lebih dalam lagi, sayang..."
Lubang vagina Mama benar-benar basah kuyup. Saat kukeluarkan jariku, jariku sampai berbau amis.
Kemudian Mama mendorong kepalaku ke bawah. "Jilat itu, sayang..." pinta Mama.
Setelah wajahku berhadapan dengan selangkangannya yang betbau amis, kukeluarkan lidahku... kujilat saja vagina Mama yang pernah melahirkanku dan Ariel itu.
"Ohh... enak, say..." Mama menarik rambutku supaya mulutku bisa dalam lagi menggauli alat kelaminnya itu dengan lebih mesra, sehingga lidahkupun masuk ke dalam lubang vaginanya menjilat dinding vaginanya dan menggelitik rahimnya.
"Oohhh... Mam... maah mau keluar...." erang Mama setelah itu tubuh Mama menggeliat dan mengejang. "Uuughh... sayaa...aangg.... nikmatnyaaaaa.... aahhh..." rintih Mama saat ia orgasme.
Tanpa sadar, aku dan Mama sudah melakukan hubungan incest, apalagi ketika kumasukkan penisku ke lubang vagina Mama... penisku begitu gampang kudorong masuk ke lubang yang becek dan licin itu, bleeesss...
Sambil berciuman dengan Mama aku menarik dan mendorong penisku menggauli vagina Mama.
Karena baru pertama kali rasanya begitu nikmat lubang itu saat tergesek oleh penisku, meskipun sedikit longgar terasa oleh penisku. Mungkin Papa masih pakai. Mama baru berusia 43 tahun, sedangkan Papa berusia 45 tahun.
Kini lubang itu digaulii oleh anak lelakinya sendiri. Kupompa cepat lubang vagina Mama saat aku merasa air maniku mau keluar, lalu aku mengerang, "Aaakkkhh...."
Croottt... crroottt... crroottt...
Apa mau dikata? Nasi sudah jadi bubur. Pasti air maniku yang kental itu langsung bereaksi dengan sel telur Mama. Jika Mama sampai hamil, aku harus terima kenyataan itu dan bertanggung jawab.
Aku tidak berani keluar dari kamar menemui Papa saat Papa pulang kerja pada malam harinya. Aku telah meracuni rahim istrinya dengan cairan nikmat yang keluar dari penis perjakaku.
Sampai disini ceritaku belum selesai. Ternyata Mama minta aku menyodok lubang vaginanya lagi berselang beberapa hati kemudian.
Dari hubungan yang tidak disengaja ini, tidak bisa kuingkari, aku jadi mencintai mamaku sendiri.
Mama memberikan aku menggauli tubuhnya sampai hari ini tanpa diketahui Papa dan tetangga, karena tingkah laku Mama biasa-biasa saja, tidak membuat tetangga atau Papa curiga.