Jam digital di dashboard mobilku menunjukkan waktu pukul 02.24 Waktu Indonesia Barat. Hampir dua jam aku berkendara dari kantorku menuju rumah mertuaku ini. Cukup cepat juga perjalanan dari Bandung menuju kota di sebelah barat Jakarta ini kalau dilakukan malam hari, pikirku. Kuhentikan mobilku tepat di depan rumah mertuaku.
Suasana depan rumah mertuaku terasa sepi. Walau pun rumah mertuaku ini berada di pinggir jalan provinsi empat lajur yang dipisahkan pembatas jalan selebar 2 meter, namun awalnya jalan ini merupakan jalan perumahan kedinasan tempat mertuaku bekerja yang kemudian dijadikan sebagai jalan alternatif menuju bandar udara di pinggiran Kota Jakarta.
Rumah yang ditempati mertuaku cukup luas yaitu dengan lebar sekitar 12 meter dan panjang sekitar 20 meter. Lahan sepanjang 7 meter digunakan untuk teras dan parkir mobil yang cukup untuk memarkir 4 mobil, sedangkan lahan sisanya sepanjang 13 meter digunakan untuk bangunan 2 lantai.
Pada bangunan lantai dasar terdapat ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, 1 kamar tidur utama, 1 kamar tidur, dan 2 kamar mandi yang mana salah satunya berada di antara 2 kamar tidur dengan masing pintu akses ke kamar mandi, dan 1 kamar tidur kecil untuk asisten rumah tangga. Bangunan lantai atas terdapat 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan tempat cuci beserta tempat cuci pakaian. Rumah dengan cat warna merah muda ini sudah ditempati mertuaku sejak tahun 1992.
Aku turun dari mobil dengan tetap membiarkan mesin mobil masih menyala. Kulangkahkan kakiku menuju pintu garasi rumah mertuaku untuk melihat apakah masih ada tempat di garasi untuk parkir mobilku. Kulihat masih ada tempat kosong untuk mobilku parkir. Kubuka gembok yang terpasang di kunci pagar dengan anak kunci yang sejak tadi turun mobil aku genggam. Aku memiliki anak kunci pagar dan rumah mertuaku karena memang kebijakan dari mertuaku yang memberikan anak kunci rumah mertuaku kepada para penghuni rumah ini dengan tujuan agar tidak mengganggu penghuni lainnya apabila ada penghuni yang pulang larut malam.
Selesai memarkir mobilku di dalam garasi, aku mengunci kembali pagar rumah mertuaku seperti semula. Aku buka pintu belakang mobilku untuk mengambil barang-barang yang ada di bangku belakang. Barang-barang yang aku bawa dari Bandung ini berupa pakaian kotor yang aku simpan di travel bag warna hitam dan tote bag warna coklat tua, sekantong plastik ukuran sedang berisi makanan kering khas kota Bandung, dan tas kerjaku berupa tas backpack warna hitam. Aku turunkan barang-barang bawaanku satu persatu dan aku tempatkan di depan pintu rumah mertuaku.
Pakaian kotor yang aku bawa dari Bandung ini sengaja aku bawa ke rumah mertuaku untuk aku cuci di rumah mertuaku karena aku mengambil libur pengganti selama 5 hari setelah 1 bulan lamanya aku tidak mendapatkan libur, hal ini disebabkan setiap akhir tahun perusahaan tempat aku bekerja menerapkan kebijakan posko akhir tahun untuk menghadapi perayaan Natal dan Tahun Baru.
*
Perkenalkan, namaku Rio, usiaku saat ini menjelang 32 tahun. Tinggiku sesuai rata-rata pria Indonesia pada umumnya, sekitar 168 centimeter. Beratku sekitar 71 kilogram, jadi tidak kurus dan tidak juga gemuk, proporsional dengan tinggi badanku. Kulitku berwarna coklat terang. Aku bekerja sebagai karyawan BUMN bidang jasa pengiriman yang saat ini sudah hampir 5 bulan ditugaskan sebagai salah satu pimpinan unit pada kantor cabang di Bandung.
Aku mempunyai bernama Risa, usianya terpaut 6 tahun di bawahku, yaitu menjelang usia 26 tahun. Istriku memiliki tinggi badan sekitar 157 centimeter dan saat ini memiliki berat badan sekitar 52 kilogram karena sedang mengandung anak kami yang pertama dengan usia kandungan 21 minggu (5 bulan). Warna kulit istriku putih bersih. Istriku juga bekerja sebagai karyawan BUMN di bidang jasa keuangan yang ditugaskan di kantor cabang di kota sebelah barat Jakarta, tidak terlalu jauh dari rumah mertuaku. Kami telah menikah lebih dari 1 tahun, setelah sebelumnya berpacaran lebih dari 8 tahun.
Istriku anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Kakaknya yang bernama Dita, berusia 2 tahun lebih tua dari istriku, telah menikah dan mempunyai 1 anak serta tinggal di kota sebelah mengikuti suaminya. Sedangkan adiknya bernama Rani berusia 22 tahun, masih kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini.
Ketiga bersaudara ini mirip satu sama lain, mengikuti garis wajah ibunya. Malah seringkali kalau mereka jalan berempat, disangka kembar empat oleh orang lain. Di antara ketiganya, istriku yang paling cantik. Dengan warna kulit yang putih bersih, membuat orang lain menyangka istriku keturunan tiong hoa, padahal keluarga istriku aslinya dari Malang. Sedangkan kakak dan adiknya berkulit lebih gelap.
*
Kubuka perlahan kunci pintu rumah mertuaku agar tidak menimbulkan kegaduhan pada dini hari ini. Aku masukkan satu persatu barang-barang yang tadi aku letakkan di depan pintu rumah ke kursi tamu yang letaknya tidak jauh dari pintu. Kemudian aku kunci kembali pintu rumah mertuaku hampir tanpa suara.
Setelah kucabut kunci pintu rumah dari lubang kuncinya dan memasukkannya ke dalam saku kanan belakang celanaku, aku mengambil kantong yang berisi makanan kering dan membawanya ke arah dapur.
Sesampainya di dapur, aku letakkan kantong makanan tersebut di atas meja makan yang terbuat dari kayu ukuran 150x120 centimeter dengan 6 kursi kayu berada di sisi-sisinya. Selanjutnya aku beranjak ke arah rak piring setinggi 150 centimeter yang letaknya sekitar 1 meter dari meja makan. Aku ambil salah satu gelas kristak yang berada di rak kedua dari atas. Kemudian aku menuju kulkas 2 pintu berwarna abu-abu letaknya berlawanan dari posisi rak piring.
Aku buka pintu kulkas dan kuambil botol kaca bekas kemasan sirup yang berisi air putih dingin yang terlihat dari botol kaca yang berembun. Kupindahkan sebagian isi botol kaca itu ke dalam gelas yang ada di tangan kiriku, kutuangkan sampai 7 per 8 penuh. Kemudian ak minum air putih dingin yang ada di gelas kristal menggunakan tangan kiriku. Satu gelas air dingin ternyata tidak dapat menghilangkan rasa dahagaku selama 2 jam perjalanan dari Bandung, lalu kutuang kembali air dingin ke dalam gelas dan meminumnya kembali.
Setelah dahagaku hilang, kemudian aku menuju ruang tamu di mana barang-barangku lainnya berada. Aku gendong tas backpack-ku, aku ambil tote bag dengan tangan kiriku dan travel bag dengan tangan kananku. Kemudian aku langkahkan kakiku menuju tangga beton dengan railing stainless steel yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu dan menaikinya menuju lantai 2 rumah mertuaku.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bangunan lantai 2 ini terdapat 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan balkon untuk tempat cuci dan jemur pakaian. Posisi kamar mandi sedikit berhadapan dengan tangga. Di antara tangga dan kamar mandi terdapat area kosong berukuran sekitar 2x2 meter. Jika posisi dari arah tangga, sisi sebelah kiri terdapat lorong menuju balkon dan di sebelahnya terdapat pintu kamar tidur milik Mba Dita, yang letaknya saling siku dengan pintu kamar mandi. Sedangkan di sisi sebelan kanan terdapat 2 pintu kamar yaitu pintu kamar tidur milik Rani dan pintu kamar tidur milik Risa, istriku.
Saat Mba Dita, Risa, dan Rani masih anak-anak, kamar Risa dan kamar Rani dibongkar pembatasnya sehingga menjadi 1 kamar tidur yang besar, karena masing-masing kamar itu berukuran 3x3 meter. Kamar besar itu merupakan kamar tidur mereka bertiga. Akan tetapi saat Mba Dita duduk di bangku SMA, dia meminta memiliki kamar sendiri dan memilih kamar yand di dekat kamar mandi itu. Kemudian setelah Risa menjelang masuk kuliah, Risa juga meminta kamar sendiri, oleh karena itu kamar tidur besar itu disekat kembali dengan menggunakan gypsum. Akan tetapi sekat yang dipasang tidak tertutup sepenuhnya, karena posisi AC (Air Conditioner) yang terpasang berada di tengah-tengah antara kamar tidur Risa dan kamar tidur Rani, sehingga terdapat celah untuk penempatan AC tersebut.
Sebenarnya aku dan Risa sudah mempunyai rumah sendiri, lokasinya tidak jauh dari rumah mertuaku, tidak sampai 3 kilometer. Akan tetapi sejak aku pindah tugas ke Bandung, Risa memilih tinggal bersama mertuaku karena kesepian kalau ditinggal sendirian, apalagi saat ini Risa dalam kondisi hamil. Kami akan tinggal di rumah kami saat weekend, yaitu saat aku pulang ke kota ini.
Kamar tidur yang aku tempati bersama Risa di rumah mertuaku ini terdapat sebuah tempat tidur ukuran 160x200 centimeter yang posisinya pada sudut kamar sebelah kanan berhadapan dengan pintu kamar menempel pada sisi dinding rumah dan sisi dinding sekat dengan kamar Rani. Sejajar dengan tempat tidur pada sudut kamar sebelah kiri, terdapat lemari pakaian ukuran 80x55x190 centimeter menempel pada dinding rumah berwarna putih tempat menyimpan pakaianku. Pada dinding sebelah kiri kamar, berseberangan dengan dinding sekat kamar Rani, terdapat jendela ukuran 180x120 centimeter yang terdiri 2 daun jendela yang dapat dibuka ke arah luar kamar. Seberang lemari pakaianku, pada sudut kiri kamar sejajar dengan pintu kamar, terdapat lemari pakaian Risa ukuran 150x55x190 centimeter dan di sebelah kanan lemari dekat pintu kamar terdapat meja rias ukuran 60x45x150 centimeter yang keduanya berwarna putih juga.
Aku membuka pintu kamar Risa yang tidak terkunci secara perlahan menggunakan tangan kananku, aku tidak mau membuat kegaduhan yang dapat membangunkan Risa dari tidurnya, karena Risa baru tertidur sekitar pukul 1 tadi saat kami berteleponan saat aku dalam perjalanan ke rumah mertuaku ini, dan Risa juga harus kembali bekerja di pagi harinya. Secara perlahan juga ak geser daun pintu supaya terbuka lebih lebar agar barang=barang yang aku bawa dapat ikut masuk ke dalam kamar bersamaku.
Lampu kamar Risa dalam keadaan padam, dengan bantuan cahaya yang berasal dari lampu di atas tangga, aku dapat melihat tubuh Risa sedang tidur di atas tempat tidur. Posisi tubuhnya miring ke kanan menghadap dinding rumah dengan bantal kepala berada di sisi dinding sekat, kaki kirinya tertekuk sedikit ke atas yang ditumpangkan pada guling yang sedang dipeluk Risa, membuat celana dalamnya yang berwarna putih terlihat jelas akibat daster yang dipakainya tersingkap. Aku dapat memaklumi cara tidurnya yang miring seperti itu, karena itu salah satu posisi tidur yang baik bagi wanita yang sedang hamil.
Aku tutup kembali pintu kamar hampir tanpa suara. Keadaan kamar kembali menjadi gelap, hanya sedikit cahaya dari luar kamar yang masuk melalui kisi-kisi di atas pintu kamar. Kemudian aku letakkan travel bag, tote bag, dan tas backpack di depan lemari Risa. Aku urungkan niat mengeluarkan isi tas-tas tersebut karena khawatir membuat suara yang gaduh, nanti pagi saja pikirku.
Aku lepas jam tangan yang aku pakai dan aku letakkan di meja rias. Kemudian aku keluarkan 2 telepon selular milikku dari saku kanan dan kiri celana panjang trainning yang aku pakai dan meletakkannya di meja rias dekat jam tanganku. Aku lepas juga celana panjang trainning dan aku gantung di gantungan belakang pintu kamar, sehingga menyisakan celana pendek boxer dan kaos oblong yang aku pakai. Aku sudah mandi dan mengganti pakaian kerjaku dengan pakaian untuk tidur saat aku masih di wisma sebelum aku berangkat ke rumah mertuaku, dengan tujuan agar aku bisa langsung tidur begitu sampai di rumah ini.
Setelah menggantung celanaku, aku membalikkan badan ke arah tempat tidur melihat ke arah Risa yang sedang tertidur. Hasrat seksualku langsung muncul begitu melihat Risa yang tertidur dengan posisi daster yang tersingkap memperlihatkan bongkahan pantat Risa yang masih terbalut celana dalamnya yang berwarna putih. Maklum saja, hampir sebulan ini aku tidak dapat menyalurkan rasa kasih sayangku dengan bersenggama dengan Risa, langsung saja aku melangkah menuju tempat tidur dengan harapan dapat melampiaskan rasa kangenku kepada Risa, tentu saja hal ini bertolak belakang dengan keheningan yang aku jaga agar tidak mengganggu Risa tidur. Aku jadi geli sendiri memikirkannya.
Baru satu langkah aku berjalan, langsung aku hentikan langkahku. Aku terdiam tertegun bediri di samping tempat tidur. Aku melihat ada kejanggalan di sini.
Aku memperhatikan baik-baik sosok tubuh di hadapanku ini, memastikan kembali sosok yang sedang tertidur dengan pulasnya itu. Aku perhatikan tinggi sosok tubuh ini, aku bandingkan dengan ukuran tempat tidurku. Walaupun posisi kakinya yang tertekuk, aku memperkirakan sosok ini tingginya hampir 170 centimeter, jelas lebih tinggi dari Risa yang 157 centimeter. Apa iya Risa bertambah tinggi lebih dari 10 centimeter setelah aku tinggal hampir 1 bulan? Pikirku.
Kemudian dari bentuk badan, aku memperkirakan lebih lebar dari Risa, tapi itu bisa saja terjadi mengingat Risa sedang hamil muda yang mana pertumbuhan berat badannya nya bisa sangat signifikan selama hampir 1 bulan. Selanjutnya aku memperhatikan pakaian yang dikenakan sosok tubuh ini, daster warna gelap dengan motif bunga-bunga berwarna putih. Aku mengingat-mengingat kembali apakah Risa memiliki daster dengan motif dan warna seperti ini. Tapi bisa saja Risa membelinya baru-baru ini sehingga aku belum pernah melihatnya, pikirku kembali.
Postur tubuh wanita yang sedang tertidur di hadapanku ini sangat mirip dengan postur tubuh Rani. Tapi aku pun masih ragu, karena hari ini adalah hari Selasa dini hari, harusnya Rani sudah kembali ke kosan di dekat kampusnya sejak hari Minggu sore atau paling tidak di hari Senin pagi.
Aku urungkan niatku untuk segera menuntaskan hasrat seksualku. Untuk menjawab rasa raguku, aku memutuskan untuk memeriksa kamar sebelah, yaitu kamar tidur Rani.
Aku pun segera membalikkan badan dan perlahan-lahan membuka pintu kamar tidurku. Setelah melangkah keluar kamar, pintu kamar Risa pun aku tutup kembali nyaris tanpa menimbukan suara. Aku langsung menuju kamar tidur Rani. Aku buka pintu kamarnya dengan sedikit melebihkan tenaga, karena sepengetahuanku pintu kamar Rani memang agak sulit dibuka dan jika membuka atau pun menutup pintu pasti akan menimbulkan suara berdecit.
Aku dorong perlahan pintu kamar Rani ke arah dalam. Aku tahan sedikit supaya tidak terbuka terlalu lebar. Setelah pintu kamar Rani terbuka hampir selebar 20 centimeter, aku menjulurkan kepalaku ke arah dalam kamar tidur Rani untuk meilhat kondisi di dalam kamar.
Dengan bantuan cahaya dari arah belakangku yang berasal daru lampu di atas tangga, aku melihat sosok tubuh yang sedang tidur atas tempat tidur kamar Rani. Posisi tubuhnya sedikit miring ke kiri. Posisi kepalanya ada di sisi dekat jendela kamar Rani, menjauhi atau berlawanan arah dengan dinding penyekat antara kamar Rani dan kamar Risa. Dengan posisi tidur seperti itu, aku bisa memastikan dengan jelas siapa sosok tubuh yang tidur di kamar Rani, karena aku bisa melihat dengan jelas paras wajah istriku yang cantik dan pakaian yang dikenakannya pun sangat aku kenal, daster warna merah muda motic batik yang pernah aku belikan untuk Risa, jadi ya, sosok itu adalah Risa, istriku. Itu artinya sosok yang tertidur di kamar Risa adalah Rani. Entah alasan apa mereka bertukar posisi kamar tidur.
Namun begitu lah kalau syaitan sudah berkehendak, bukannya aku membuka pintu kamar Rani semakin lebar sehingga aku bisa masuk ke dalam kamar Rani dan langsung mengambil posisi tidur samping Risa, tetapi aku malah kembali menutup kembali pintu kamar Rani bahkan dengan semakin perlahan berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun yang bisa membangunkan Rani.
Aku berdiri termenung di area kosong depan kamar tidur Rani, mencoba memahami dan menganalisis situasi yang aku hadapi saat ini. Batin dan pikiranku bergejolak. Pada satu sisi aku berpikir untuk segera masuk ke dalam kamar Rani di mana istriku Risa sedang tertidur dan pergi berbaring bersamanya, atau dengan sedikit harapan bisa sekalian melampiaskan hasrat seksualku bersama Risa yang sudah tertahan selama hampir sebulan.
Sedangkan di sisi lainnya, di kamar Risa terdapat Rani yang sedang tertidur dengan posisi yang membuat hasrat laki-lakiku tertantang, dan seketika itu juga penisku langsung berdiri tegak saat mengingatnya. Karena merasakan kehangatan tubuh Rani merupakan salah satu hal yang telah aku idam-idamkan selama bertahun-tahun.
Aku mengenal Rani sejak awal pacaran aku dan Risa, dia berusia 12 tahun, saat itu baru kelas 1 Sekolah Menengah Pertama favorit di kota ini. Aku menyaksikan sendiri masa pertumbuhannya selama ini. Sebagai anak bungsu di keluarga mertuaku, Rani selalu dimanja. Apabila di dalam rumah, saat itu Rani hanya memakai celana yang sangat pendek dan memakai kaos singlet atau kaos dalam tanpa memakai bra. Awalnya aku tidak terlalu mempedulikannya, bagiku Rani hanya seorang adik kecil yang sedang tumbuh menuju remaja. Seperti halnya Rani menganggapku sebagai kakak laki-lakinya karena kakak-kakaknya perempuan semua.
Rani terus tumbuh menjadi seorang gadis cantik, akan tetapi cara Rani berpakaian di rumah tidak berubah, meskipun saat itu aku sedang berada di rumah mertuaku. Bukan hanya soal berpakaian, sikap Rani di rumah juga serampangan, sering kali aku melihat payudara dan area selangkangannya secara jelas. Aku sudah berulang kali protes kepada Risa kalau aku juga seorang laki-laki normal, aku juga bisa terangsang melihat cara berpakaian dan sikap Rani bila aku sedang di rumah mertuaku. Tetapi tanggapan Risa hanya tertawa kecil dan menganggap omonganku sebagai becandaan belaka. Jujur saja, beberapa kali hasrat seksualku menjadi tinggi saat dipertontonkan tubuh indah Rani. Akhirnya aku lampiaskan nafsuku kepada Risa yang saat itu masih menjadi pacarku.
Bahkan aku sempat sangat kesal saat menduga keperawanan Rani telah direnggut oleh pacarnya saat Rani duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Dugaan ini timbul karena Rani beberapa kali terpergok sedang berduaan dengan pacarnya di kamarnya saat rumah mertuaku dalam keadaan kosong. Aku kesal karena telah ada orang lain yang lebih dahulu menikmati tubuh indah Rani.
Kesempatan tidak datang 2 kali, pikirku. Aku terinspirasi dari film porno yang pernah aku tonton. Pada salah satu adegan di dalam film porno ini, terdapat adegan seorang pria yang keliru menyetubuhi sahabat pacarnya yang menginap di apartemen pacarnya. Pria tersebut menganggap sahabat pacarnya adalah pacarnya karena kondisi apartemen pacarnya yang gelap. Ini bisa aku jadikan referensi, pikirku lagi. Aku harus bisa merancang perbuatan persetubuhan yang akan aku lakukan terhadap Rani seolah-olah adalah sebuah kejadian yang spontan dan tidak disengaja.
Aku juga harus memikirkan apa reaksi Rani saat aku melakukan perbuatan ini, karena walau rencana ini seolah-olah spontan dan tidak disengaja, tapi akan membuat aku malu adalah bila reaksi Rani yang kaget dan berteriak membangunkan setiap orang di rumah mertuaku ini. Ini risiko terbesarnya, hanya malu. Tetapi rasa malu yang nanti akan aku dapatkan, harus setimpal dengan hasil atau tujuan perbuatan aku ini. Kalau seperti ini, sudah jelas target utamaku adalah penisku di dalam vagina Rani. Memikirkan ini saja membuat penisku semakin tegang, membayangkan hangatnya vagina Rani menyelimuti penisku. Aku sudah menemukan caranya.
Aku melangkah menuju pintu kamar Risa. Dengan perlahan-lahan dan penuh hati-hati, aku buka pintu kamar Risa berusaha tanpa menimbulkan suara, jangan sampai Rani terbangun, jangan menyia-nyiakan kesempatan luar biasa ini. Setelah pintu terbuka cukup lebar untuk dapat dilalui tubuhku, aku langkahkan kakiku ke dalam kamar Risa. Kemudian aku tutup pintu kamar Risa dengan perlahan pula dan penuh hati-hati.
Aku berdiri terdiam terpaku melihat sosok tubuh Rani yang tertidur di tempat tidur di hadapanku. Posisinya belum berubah dari sebelum aku keluar kamar ini tadi. Bagian bawah daster yang dipakai Rani masih dalam keadaan tersingkap sampai dengan pertengahan pantat Rani, memperlihatkan celana dalam putihnya yang masih membungkus daerah selangkangan Rani.
Dadaku berdebar kencang, gugup untuk memulai rencanaku. Batang penisku menjadi semakin tegang akibat dipompa oleh kencangnya debaran jantungku. Aku sedang mencari bagian tempat tidur mana yang akan aku naiki yang tidak menimbulkan goncangan berlebih yang dapat membuat Rani terbangun. Tempat tidur di kamar Risa ini berjenis tempat tidur per atau springbed yang usianya sudah cukup lama, kekuatan per tempat tidurnya sudah tidak terlalu bagus, sehingga kalau ada gerakan yang tiba-tiba maka akan menimbulkan goncangan di atas tempat tidur.
Aku melangkah mendekati sisi tempat tidur dan memposisikan tubuhku membelakangi tempat tidur. Perlahan-lahan aku membungkukkan tubuhku untuk duduk di tengah-tengah tepi tempat tidur dengan kedua tanganku berada di tepian tempat tidur di sisi kanan dan kiri tubuhku untuk membantu menopang tubuhku agar tidak tempat tidur Risa tidak menerima tekanan besar secara tiba-tiba. Setelah tubuhku dapat duduk dengan sempurna di tepian tempat tidur, perlahan-lahan aku memiringkan badanku ke kiri untuk merebahkan badanku dengan posisi miring ke kiri. Kemudian aku angkat kedua kakiku ke atas tempat tidur dengan menyesuaikan posisi badanku yang telah terlebih dahulu menempel pada tempat tidur.
Tubuhku saat ini sudah sepenuhnya berada di atas tempat tidur dengan posisi miring ke kiri. Perlahan-lahan aku mengubah posisi tubuhku menjadi terlentang. Sejenak aku dalam posisi terlentang untuk mengecek keadaan apakah Rani masih dalam kondisi tertidur pulas. Aku miringkan kepalaku ke arah kiri untuk melihat kondisi tubuh Rani yang saat ini terpisah jarak hampir setengah meter dari tubuhku.
Suara nafas Rani yang teratur sudah dapat aku dengar dari posisi ini. Aku lihat ke bagian bawah tubuh Rani, aku bisa memperhatikan lebih jelas tubuh bagian bawah Rani yang sudah tidak tertutup daster yang dipakainya. Aku dapat memastikan celana dalam model penuh yang dipakai Rani tidaklah ketat, ini bisa terlihat dari beberapa bagian celana dalamnya yang tidak menempel pada bongkahan pantat Rani, sepertinya celana dalam ini hanya dipakai saat Rani pergi tidur. Setelah yakin Rani masih tertidur pulas, aku mulai memikirkan langkah selanjutnya.
Perlahan-lahan aku geser seluruh tubuhku ke kanan untuk mendekati tubuh Rani dengan cara mengangkat sedikit tubuhku ke atas dengan bertopang pada kedua siku tanganku dan kedua tumit kaki. Aku lakukan gerakan ini beberapa kali dan dilakukan secara perlahan sampai tubuhku sudah cukup dekat dengan tubuh Rani. Kemudian aku miringkan tubuhku ke kanan sehingga posisi tubuhku saat ini tepat berhadapan dengan bagian belakang tubuh Rani, dan tubuh kami berdua hanya menyisakan jarak sekitar 5 centimeter.
Debar jantungku semakin kencang dan kuat, tidak pernah wajahku ini begitu dekat dengan tubuh Rani. Aku bisa merasakan bau harum yang berasal dari tubuh Rani. Penisku menegang sudah dalam batas maksimalnya. Sabar ya nak, sebentar lagi pasti bisa masuk ke dalam vagina Rani, aku memberikan motivasi kepada diriku sendiri.
Aku harus segera bertindak se-efisien dan se-efektif mungkin, karena suatu saat bisa saja Rani terbangun secara tiba-tiba. Posisi Rani tidur miring ke kanan, kaki kirinya tertekuk sedikit ke atas yang ditumpangkan pada guling yang dipeluknya, sedangkan kaki kanan dalam posisi lurus sedikit tertimpa guling. Dengan posisi tidur seperti ini, membuat pantatnya sedikit menungging ke belakang, serta bongkahan pantat Rani semakin menonjol dan area selangkangannya terbuka, tinggal menyingkirkan celana dalam yang masih menutupi area senggama milik Rani. Aku kesulitan kalau harus melepas celana dalam Rani, karena posisi kaki kiri Rani yang sedikit tertekuk akan menjadi penghalang apabila harus melepas celana dalam Rani. Jadi yang harus aku lakukan adalah membuat celah agar penisku dapat menerobos lubang kenikmatan milik Rani.
Aku ulurkan tangan kiriku ke arah bagian bawah tubuh Rani, tugasnya untuk membuat celah antara bibir vagina Rani dengan celana dalamnya agar batang penisku bisa menerobos masuk ke dalam vagina Rani. Aku memposisikan tangan kiriku berada di atas bongkahan pantat Rani sebelah kiri. Tidak menempel di pantat Rani, tapi sedikit di atas pantat Rani tanpa menyentuhnya. Kemudian perlahan aku selusupkan jari telunjuk kiriku di antara pinggiran celana dalam Rani dan pantat kiri Rani. Terus aku geser perlahan pinggiran celana dalam Rani sampai di celah kedua pantat Rani, sehingga pinggiran celana dalam ini tidak dapat kembali ke tempat semula karena tersangkut bongkahan pantat Rani.
Bongkahan pantat Rani sebelah kiri sudah tidak tertutup celana dalam lagi. Jari telunjuk kiriku kembali beroperasi, kali ini yang disasarnya adalah pinggiran celana dalam yang berada di pinggul Rani. Kembali aku selusupkan telunjuk kiriku di antara pinggiran celana dalam Rani dan pinggul Rani, lalu perlahan-lahan aku geser dan tarik ke arah pantat Rani sebawah mungkin, hal ini dikarenakan celana dalamnya masih tersangkut di pinggul sisi bagian bawah perut Rani. Terus aku geser bawah dan terhenti di pertengahan pantat Rani.
Jantungku masih berdebar kencang saat melakukan aksi ini. Aku arahkan kembali tangan kiriku ke dekat bagian area selangkangan Rani. Aku cubit bagian bawah celana dalam Rani yang sudah mengerut dan mengendur karena bagian atas celana dalamnya sudah bergeser di pertengahan pantat Rani, kemudian tarik ke bawah sehingga tercipta celah bagi penisku untuk menerobos lubang vagina Rani.
Aku terdiam kembali untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya. Aku cuma perlu memastikan usahaku ini tidak akan gagal. Aku pun memutuskan untuk langsung menancapkan batang penisku ke liang senggama milik Rani, karena kalau dugaanku benar Rani sudah kehilangan selaput daranya, harusnya liang kenikmatan milik Rani lebih mudah untuk diterobos penisku.
Ukuran tubuhku yang hampir sama dengan Rani, sehingga posisi tubuhku saat ini hampir sejajar dengan posisi tubuh Rani yang membelakangiku, kepalanya tepat di depan mataku, kedua bongkahan pantatnya hanya berjarak 5 centimeter dari penisku. Dengan posisi seperti ini, akan membuatku kesulitan menacapkan batang penisku ke dalam lubang vagina Rani.
Dengan gerakan perlahan aku menurunkan posisi tubuhku ke bawah sampai posisi kepala atasku sejajar dengan bahu Rani, sehingga posisi wajahku saat ini berhadapan dengan punggung Rani. Selanjutnya aku ubah posisi kedua kakiku dengan posisi sedikit tertekuk menyesuaikan posisi tubuh Rani bagian bawah. Kemudian aku keluarkan batang penisku yang sudah dalam sikap tegak sempurna dengan menyingkap lubang celana boxerku sebelah kiri.
Aku dekatkan tangan kiriku ke mulutku dengan meluruskan jari telunjuk dan jari tengah dengan saling menempel, sedangakan jari-jari lainnya dalam posisi tertekuk. Aku himpun air liurku di ujung mulutku, kemudian aku letakkan air liurku ini di antara jari telunjuk dan jari tengah yang saling berhimpit agar tidak mudah mudah menetes atau jatuh ke bawah. Lalu aku arahkan tangan kiriku ini ke arah area selangkangan Rani.
Perlahan-lahan aku oleskan air liur yang ada di kedua jari tangan kiriku di permukaan vagina Rani. Jantungku berdebar semakin kencang saat jari tangan kiriku mulai menyentuh bulu-bulu halus yang tumbuh di area vagina Rani. Aku bisa merasakan lebatnya rambut kemaluan Rani dengan kedua jariku ini. Aku semakin tidak sabar untuk segera menancapkan batang penisku di dalam vagina Rani.
Begitu jari telunjuk dan jari tengah tangan kiriku menyentuh kulit permukaan vagina Rani, aku oleskan air liurku di area yang aku anggap paling dekat dengan lubang kenikmatan Rani. Perlahan-lahan aku oleskan dengan tetap menjaga jari tangan kiriku tidak terlalu menekan area vagina Rani. Aku oleskan seluruh air liurku yang ada di jari telunjuk dan jari tengah tangan kiriku. Kemudian perlahan-lahan aku tekan area vagina Rani dengan telunjuk kiriku untuk mencari garis vagina Rani. Setelah telunjuk kiriku menemukan garis vagina Rani, aku tekan semakin dalam ke garis vagina Rani untuk mencari posisi pasti letak lubang vagina Rani berada.
Aku tancapkan telunjuk kiriku kira-kira sedalam 2 milimeter di garis vagina Rani, aku telusuri perlahan ke arah bagian bawah vagina Rani. Bingo, akhirnya aku menemukan harta karun yang selama ini selalu aku impikan, harta karun ini adalah liang kenikmatan milik Rani. Aku tusuk jari telunjuk kiriku semakin dalam di dalam lubang vagina Rani, kira-kira sampai satu ruas jari telunjuk kiriku. Perlahan-lahan aku putar ujung telunjuk kiriku di dalam permukaan lubang vagina Rani agar lubang kenikmatannya dapat terbuka lebih lebar dan air liurku dapat membasahi area permukaan liang kenikmatan milik Rani ini. Aku lakukan penuh hati-hati agar tidak membangunkan Rani dari tidur lelapnya.
Setelah aku bisa memastikan permukaan lubang vagina Rani sudah sedikit terbuka dan air liurku sudah membasahi mulut vagina Rani, aku hentikan putaran telunjuk kiriku di mulut vagina Rani. Selanjutnya aku ambil kembali air liur dari mulutku dengan telunjuk dan jari tengah tangan kiriku, kemudian aku letakkan air liurku di ujung kepala penisku dengan tujuan mempermudah kepala penisku masuk ke dalam liang vagina Rani.
Aku memposisikan kembali pinggulku lebih mendekat ke bongkahan pantat Rani. Aku pegang pangkal batang penisku dengan tangan kiriku, kemudian aku arahkan kepala penisku ke liang vagina Rani yang sudah aku oleskan dengan air liurku sebelumnya. Kadar libido di tubuhku semakin tinggi, jantungku berdegub semakin kencang, ritme nafasku sudah tidak beraturan, dan batang penisku membesar sudah dalam batas maskimalnya.
Kepala penisku sudah mulai menyentuh permukaan lubang vagina Rani yang sudah basah dengan air liurku. Dengan dibantu tangan kiriku yang masih memegang pangkal batang penisku, kepala penisku mulai mengoyak liang vagina Rani yang sudah agak sedikit terbuka. Kemudian aku dorong masuk kepala penisku ke dalam liang kenikmatan Rani secara perlahan-lahan. Setengah centimeter, satu centimeter, dua centimeter, aku bisa merasakan sedikit demi sedikit kepala penisku merangsek masuk ke dalam liang vagina Rani.
Aku hentikan gerakanku ini setelah seluruh kepala penisku berada di dalam vagina Rani. Bisa aku rasakan kehangatan liang vagina Rani yang menyelimuti kepala penisku. Aku diam sejenak untuk membuat liang vagina Rani beradaptasi dengan kepala penisku. Aku cek kembali kondisi Rani, sepertinya dia masih tertidur pulas.
Setelah aku merasakan cengkraman vagina Rani mengendur, aku kembali memajukan pinggulku agar batang penisku terdorong lebih masuk perlahan-lahan ke dalam liang vagina Rani. Milimeter demi milimeter aku nikmati proses masuknya batang penisku ke dalam lubang vagina Rani, satu hal yang aku impikan selama bertahun-tahun ini. Gesekan batang penisku dengan dinding vagina Rani dan hangatnya cengkraman liang vagina Rani terhadap batang penisku membuat hasrat seksualku semakin tidak tertahan.
Akhirnya seluruh batang penisku sudah berada dalam cengkraman vagina Rani. Aku kembali diam sejenak untuk memastikan Rani masih tertidur dan agar vagina Rani menyesuaikan keberadaan batang penisku di dalam liangnya. Aku mengatur ritme nafasku agar lebih teratur agar aku tidak cepat ejakulasi. Aku tidak ingin saat-saat ini berlalu begitu cepat.
Setelah liang vagina Rani aku rasakan sudah mulai terbiasa dengan kehadiran batang penisku, perlahan-lahan aku memundurkan pinggulku untuk mulai memompa vagina Rani dengan batang penisku dengan bantuan pelicin dari sisa air liurku yang ikut masuk ke dalam liang vagina Rani. Aku merasakan nikmat tiada tara saat kulit penisku saling bergesekan dengan dinding vagina Rani yang masih sempit ini.
Setelah setengah batang penisku keluar dari liang vagina Rani, aku dorong kembali batang penisku masuk ke dalam liang vagina Rani. Liang vagina Rani agak terasa kesat, sepertinya air liurku yang ada di dalam vagina Rani menjadi berkurang, sedangkan liang vagina Rani belum mengeluarkan cairan pelicin alaminya. Saat batang penisku hampir masuk seluruhnya, aku merasakan adanya gerakan dari tubuh Rani. Kemungkinan tubuhnya bereaksi atas masuknya batang penisku ke dalam lubang vagina Rani tanpa didukung pelumasan yang cukup. Saatnya menjalankan rencana selanjutnya, pikirku.
"Uughh.. enak banget Risa sayang", ucapku dengan suara pelan tapi cukup bisa terdengar di telinga Rani seandainya Rani dalam kondisi sudah terbangun. Aku mulai mengeluarkan suara-suara desahan lembut dengan menyebut nama istrku, Risa. Hal ini kulakukan agar Rani berfikir aku menyetubuhinya karena aku menyangka kalau tubuh Rani adalah tubuh Risa.
"Sshshsh haah.. meki kamu enak banget sayang", ucapku pelan sambil terus memompa dengan lembut batang penisku ke dalam liang kenikmatan Rani.
Baru sekitar 6 kali genjotan, liang vagina Rani terasa semakin kesat. Efek pelicin dari air liurku sudah tidak ada lagi. Gesekan batang penisku dengan dinding vagina Rani semakin kuat. Membuatku semakin merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kondisi ini membuatku tidak bisa lagi menahan ejakulasi.
Aku tidak mungkin mengeluarkan spermaku di dalam liang kenikmatan milik Rani. Saat ini aku tidak mau membuat Rani mengandung anakku. Bisa runyam dunia ini.
Aku tidak kuasa menahan ejakulasiku, segera aku cabut batang penisku dari dalam liang vagina Rani dengan cepat. Gerakanku ini sempat membuat tubuh Rani sedikit tersentak. Akan tetapi tidak aku hiraukan karena aku lebih fokus untuk mengeluarkan cairan kenikmatan dari batang penisku.
Benar saja, tepat setelah kepala penisku keluar dari lubang vagina Rani, seketika itu juga muncrat lah cairan spermaku ke arah bongkahan pantat Rani sebelah kiri. Sebelum penisku menyemprotkan cairan spermaku kedua kalinya, dengan gerakan cepat aku masukan kembali batang penisku ke dalam celana boxerku dengan tangan kiriku., lalu kemudian aku kocok batang penisku untuk melanjutkan semprotan sisa spermaku yang sempat tertahan untuk keluar di dalam celana boxer yang aku gunakan. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara, tubuhku seperti melayang, nikmatnya sampai terasa di ubun-ubun kepalaku.Terus aku kocok sampai rasa nikmat yang aku rasakan berangsur-angsur berkurang dan batang penisku berhenti mengeluarkan sperma.
Nafasku terengah-engah tidak beraturan akibat kenikmatan yang aku rasakan dan rasa panik karena hampir saja aku menyemprotkan spermaku di dalam liang vagina Rani. Aku berusaha membuat ritme pernafasanku menjadi kembali teratur.
Setelah nafasku kembali teratur, aku mencari sesuatu yang bisa menyeka sebagian spermaku yang berada di bongkahan pantat Rani sebelah kiri. Aku putuskan untuk menggunakan selimut yang berada di ujung kakiku. Aku jepit ujung kain selimut dengan ibu jari dan telunjuk kaki kiriku, lalu aku tarik ke arah bagian atas tubuhuku dengan menggunakan kaki kiriku sampai tangan kiriku bisa menyentuh ujung selimut.
Kemudian aku seka sebagian spermaku yang ada di pantat kiri Rani dengan tangan kiriku. Selanjutnya aku memperbaiki posisi celana dalam Rani ke posisi semula agar kembali menutupi area selangkangan dan kedua bongkahan pantat Rani, walaupun tidak bisa persis seperti semula karena sebagian celana dalamnya tertahan tubuh Rani sendiri.
Setelah aku membetulkan posisi celana dalam Rani, aku merebahkan tubuhku ke arah kiri. Aku naikkan kembali tubuhku agar sejajar dengan tubuh Rani. Kemudian aku bangkit terduduk untuk mengambil selimut, lalu aku menyelimuti bagian bawah tubuh Rani sampai bagian pinggangnya dan pinggangku.
Selanjutnya aku rebahkan kembali tubuhku di samping tubuh Rani. Kumiringkan kembali tubuhku ke kanan menghadap tubuh Rani, lalu kudekatkan kepalaku ke arah tengkuk Rani dan mengecupnya dengan lembut.
"Terima kasih Risa sayang", ucapku setelah mengecup tengkuk Rani. Kemudian aku posisikan tubuhku terlentang untuk beranjak tidur.
Rani masih tertidur dalam posisi semula. Aku sudah tidak memperdulikan lagi apakah saat ini Rani terbangun atau tidak. Aku juga tidak mempedulikan bagian dalam celana boxerku yang basah oleh spermaku. Aku memejamkan kedua mataku. Mengigat kembali pencapaianku yang sudah meraih sesuatu yang aku impikan bertahun-tahun. Aku tidak bisa melupakan apa yang aku rasakan tadi. Bagaimana hangatnya lubang vagina Rani menyelimuti batang penisku dan bagaimana nikmatnya batang penisku bergesekan dengan dinding vagina Rani.
Tidak lama kemudian aku tertidur lelap dengan senyum puas terpancar dari wajahku.
*
Aku merasakan sentuhan-sentuhan lembut di pipi kiriku. Samar-samar aku mendengar suara yang sudah tidak asing di telingaku. Aku juga merasakan sesosok tubuh yang menempel erat tubuhku dari sebelah kiri.
"Sayaang.. banguun..", ucap istriku, Risa. Aku masih bergeming.
"Sayaang.. banguun..", ucap Risa lagi.
"Hhmm..", gumamku menanggapi ucapan Risa.
"Kamu semalam sampe jam berapa?", tanya Risa.
"Jam 2an", jawabku dengan mata masih tetap terpejam.
"Kamu ngga kangen ya sama aku?", tanya Risa manja sambil menyandarkan kepalanya di dadaku dan setengah memeluk tubuhku. Aku bisa merasakan kelembutan payudara kirinya yang terbungkus bra menempel di perutku.
"Kangen kok", ucapku singkat tapi sambil memeluk tubuhnya dengan tangan kiriku.
"Trus kenapa semalem kamu tidur sama Rani?", tanya Risa dengan nada sedikit cemburu.
*Hahh? Maksudnya??", jawabku dengan pura-pura kaget dan sedikit tersentak sambil membuka kedua mataku.
"Iya, semalem kamu tidur sama Rani di sini, aku kan tidurnya di sebelah. Tadi pagi Rani cerita kalau kamu tidur di sini dari semalem. Terus akhirnya dia pindah tidur di kamar sebelah begitu tau kamu tidur di sebelah dia", ucap Risa.
"Loh kok bisa tidurnya tukeran gitu?", tanyaku dengan perasaan was-was apakah Rani cerita tentang apa yang aku lakukan tadi malam.
"Kan semalem kamu tau kita teleponan sambil nemenin aku kerja trus ngeprint kerjaan aku di kamar Rani. Rani ngomel-ngomel kan akunya berisik. Jadi dia pindah ke sini tidurnya, butuh bangun pagi-pagi katanya", jawab Risa.
"Bukannya hari gini harusnya dia ada di kosan ya?", tanyaku sambil mencari pembenaran atas kejadian semalam.
"Iya kemarin sore pulang. Ada buku kuliahnya yang ketinggalan. Sekarang dia udah pergi lagi", jawab Risa.
"Kalo begitu bukan salah aku dong", aku melakukan pembelaan.
"Tetep salah kamu lah, tidur ngga liat-liat!", ucap Rani dengan ketusnya.
"Jangan-jangan semalem kamu udah grepe-grepe Rani ya?", tanya Rani sambil setengah bangkit dan memalingkan wajahnya ke wajahku serta menatap mataku penuh selidik.
"Grepe gimana? Orang semalem aku langsung tepar, capek banget", ucapku berbohong.
"Bener?", tanya Risa lagi masih belum percaya.
"Bener", jawabku tegas untuk meyakinkan Risa.
"Sumpah?", tanya Risa lagi meyakinkan dirinya.
"Suer", jawabku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kananku.
"Yaudah kalo begitu, aku ke kantor dulu", sahut Risa sambil bangkit turun dari tempat tidur.
"Salim", ucapnya berdiri di samping tempat tidur sambil mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
Aku pun segera bangkit dari tidurku, kemudian duduk di pinggir tempat tidur persis di hadapan Risa. Aku hiraukan uluran tangan kanan Risa kepadaku. Aku langsung memeluk erat tubuhnya dengan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Lalu kucium perut Risa yang sudah membesar.
"Sehat-sehat ya anakku sayang", ucapku sambil terus menciumi perut Risa.
"Emaknya ngga dicium?", tanyanya manja.
Kemudian aku berdiri di depan Risa dengan kedua tanganku masih memeluk area pinggangnya. Aku dekatkan wajahku ke wajah Risa, lalu aku lumat bibir bidadari cantik yang ada di hadapanku ini. Kami cukup lama saling berpagutan. Melepas kangen setelah hampir sebulan tidak bertemu. Tangan kananku mulai menggerayangi tubuh Risa. Mulai dari punggung sampai ke payudara kiri Risa yang masih terbungkus baju seragam kerjanya. Terus kurenas-remas payudara Risa dengan tangan kananku. Tangan kiriku masih melingkar di pinggangnya.
Nafas Risa semakin memburu tidak beraturan. Ciuman kami semakin mengganas. Aku ulurkan tangan kananku ke arah bagia bawah rok yang dipakai Risa, lalu aku coba menariknya ke atas agar tersingkap. Tapi perbuatanku ini buru-buru dihentikan oleb tangan kiri Risa.
"Udah ah, akunya jadi horny", ucapnya lirih sambil sedikit menjauhkan wajahnya dari wajahku.
"Akunya kangen mimi", ucapku sambil tetap berusaha mencium Risa kembali. Pipi dan mimi adalah panggilan sayang dari aku dan Risa untuk alat kelamin kami berdua.
"Sabar ya yang, nanti sore aku pulang kerja ya, udah kesiangan akunya", jawab Risa sambil berusaha meladeni serangan ciuman yang aku layangkan.
Lalu aku melepaskan pelukanku. Kemudian tangan kanan Risa meraih tangan kananku dan diciumnya punggung tangan kananku. Selanjutnya ak berikan ciuman di keningnya dan bibirnya kembali.
"Aku berangkat ya. Assalamu'alaikum", pamit Risa.
"Wa'alaikumsalam sayang. Aku ngga anter ke bawah ya. Masih ngantuk", ucapku.
"Iya. Daaagh", ucapnya. Aku antar Risa sampai pintu kamar. Setelah tubuh Risa sudah menghilang dibalik tangga, aku tutup pintu dan beranjak ke tempat tidur untuk melanjutkan tidurku kembali.
*
Paska kejadian itu, aku merasakan perubahan sikap Rani kepadaku. Rani seolah-olah berusaha untuk menghndari bertemu denganku. Kalau pun terpaksa bertemu, Rani akan pura-pura sibuk dengan sesuatu, bahkan sapaanku saja ditanggapi dengan datar. Pernah beberapa kali tatapan mata Rani bertemu dengan tatapanku. Aku bisa merasakan tatapan marah Rani kepadaku. Tetapi aku berusaha untuk santai, tidak menanggapinya agar skenarioku masih tetap bisa digunakan.
Sampai satu saat........