Jam 19:45 Hermanto melihat jam tangannya, Sinta membuka pintu rumah dengan kunci yang dibawanya sendiri. Sinta masuk ke rumah dan pintu dikuncinya kembali.
"Pah~~~ sudah makan, Pah?" seru Sinta.
Tidak ada jawaban. Sinta meletakkan tasnya di kursi yang berada di ruang tamu, "Pah~~~" panggilnya lagi. Apa tidur ya, tanya Sinta dalam hati lalu ia membawa sepatunya ke rak sepatu yang terletak di pojok ruang keluarga dengan bertelanjang kaki.
Jantung Hermanto berdebar-debar karena sebentar lagi Sinta akan mendekati sofa tempatnya sedang berbaring. "Addduhhh~~~ Papaaahh~~~!!!" seru Sinta ketika ia melihat Papanya tertidur di sofa dengan "burung" yang keluar dari celana Papanya. "Bagaimana sih Papah ini tidurnya~~~?" kata Sinta gelisah dan buru-buru ia pergi ke rak sepatu menaruh sepatunya.
Jika ia tidak membangunkan Papanya, bagaimana nanti kalau tiba-tiba Auriel pulang dan melihat Papanya dalam keadaan begini? Kalau dibangunkan, nanti Papanya jadi malu. Buat Sinta sih nggak ada masalah, soalnya ia sudah pernah punya suami, bukan gadis lagi. Lalu Sinta memutuskan membangunkan Papanya.
"Pah~~~ bangun, Pah!" panggil Sinta berdiri di dekat Hermanto.
"Oo~~~ mmm~~~" Hermanto menggeliat, tapi tidak membuka matanya.
"Pah, Papah mau makan apa, Sinta mau pesan nih~~~"
"Kok kamu cepat pulang, Ma~~~"
"Aduhhh~~~ nih Papah, ngelantur deh~~~"
Lalu Sinta menurunkan tubuhnya memeluk Papanya di sofa. "Ini Sinta, Pah~~~ bukan Mama~~~"
Hermanto tertawa dalam hati, jebakannya kena. Hermanto membuka matanya. Sinta langsung tersenyum manis, wajahnya yang berhadapan dengan Hermanto dekat sekali sampai bau mulutnya tercium oleh Hermanto. "Papah rindu sama Mama, ya?" tanya Sinta.
"Iya sayang, Papah nggak ada semangat kalau nggak ada Mamamu."
"Tua-tua aja masih rindu~~~" kata Sinta iri.
"Soalnya Mamamu pandai melayani Papah di tempat tidur, sayang~~~"
"Masih melakukan ya, Pah? Seminggu berapa kali?"
"Hampir setiap malam~~~"
"Haa~~~?! Pantesan~~~"
Hermanto mendorong tangan Sinta ke bawah. "Nggak mau ah, Sinta mau mandi~~~" kata Sinta bangun dari tubuh Hermanto.
"Papah ikut ya?"
Sinta tidak menjawab. Sinta melangkah ke dapur menyambar handuknya. Hermanto menyusul. Hermanto mencoba mengadu keberuntungan, siapa tau ia bisa mandi bersama Sinta.
Ternyata Sinta membukakan pintu kamar mandi untuk Hermanto. Tapi Sinta yang sudah telanjang bulat itu mengingatkan Papanya. "Sinta nggak mau begituan ya Pah, Sinta hanya mau bantu Papah keluarin," kata Sinta.
Hermanto tidak menjawab. Ia melepaskan celana dalamnya. Setelah Hermanto telanjang, Sinta mengguyur bagian belakang tubuh Papanya dengan air dari shower. Sinta lalu menyabuni bagian belakang tubuh Papanya, dan disiraminya lagi dengan air.
Sinta tidak risih ketika ia harus berdiri berhadap-hadapan dengan Papanya yang telanjang, sedangkan mata Hermanto tidak henti-hentinya memandang tubuh Sinta sampai penisnya benar-benar mengacung tegang dengan sudut 90 derajat. Sinta acuh dengan penis Papanya.
Sinta menyabuni leher Papanya, lalu turun ke dada Papanya, terus ke perut Papanya. Penis Papanya dilewati, langsung berlanjut ke paha Papanya. Setelah itu busa sabun yang menempel di tubuh Papanya dibersihkannya dengan air sampai bersih. Gagang shower digantungkan kembali ke tempatnya.
Hermanto hanya bisa menunggu dengan jantung berdebar-debar, namun penantian Hermanto tidak sia-sia. Penisnya yang tegang kemudian digenggam juga oleh tangan Sinta yang dingin. Setelah itu Sinta menurunkan tubuhnya berlutut di lantai. Detik berikutnya mata Hermanto hanya bisa merem melek ketika batang penisnya dijilat oleh Sinta.
Sinta menjilat penis Papanya seperti menjilat es krim sedangkan matanya dengan genit memandang Papanya yang sedang menahan nikmat. Kemudian dengan nakal ia mengulum penis Papanya, sementara itu Hermanto menarik napas dalam-dalam menahan air maninya supaya jangan cepat-cepat tumpah karena Hermanto merasa begitu nikmatnya kuluman mulut Sinta, apalagi kemudian Sinta mulai mengocok penis Papanya dengan mulutnya sembari jari Sinta mengocok lubang vaginanya sendiri yang basah. "Agggghhh~~~" teriak Hermanto tak tahan lagi.
Sinta melepaskan penis Hermanto lalu mengajak Hermanto berciuman. Hermanto meremas-remas payudara Sinta sambil melumat bibir Sinta, sementara penis Hermanto digesek-gesekkan oleh Sinta ke belahan vaginanya. "Agggg~~~ aggghhh~~~ aggghhhhh~~~~" dengus Hermanto seperti suara kerbau yang mau dibawa ke pejagalan, air maninya seketika muncrat~~~ muncrat~~~ muncrat~~~ di depan vagina Sinta.
Setelah itu, Hermanto hanya bisa tertunduk lesu bersandar di dinding kamar mandi membiarkan penisnya yang sudah mengkerut dibersihkan oleh Sinta.
Masih ada sisa waktu, lalu Hermanto mengajak Sinta keluar mencari makan. Di dalam mobil, Sinta dan Hermanto seperti pasangan yang baru saja menikah. Sinta tidak malu-malu lagi mengeluarkan penis Hermanto dari celana pendek Hermanto, lalu batang penis yang besar panjang itu diusap-usapnya dengan manja.
Cita-cita Hermanto untuk menikmati tubuh anaknya ini sudah setengah berhasil, tinggal setengah lagi. Sedangkan Sinta sudah menyerahkan tubuhnya setengah utuh juga pada Hermanto.
Di dalam mobil Hermanto bisa meremas payudara Sinta dan juga boleh mengusap vagina Sinta, tetapi cuma penisnya saja yang belum diizinkan Sinta untuk dimasukkan ke dalam gua surgawinya itu.
Tapi malam itu, Hermanto benar-benar tidur nyenyak. Di dalam mobil air maninya dikeluarkan oleh Sinta sampai 2 kali.
-- ooo0ooo --
Hari Sabtu Miranda menelepon Hermanto minta maaf, karena ia tidak jadi pulang ke rumah. Kemudian Hermanto minta video call dengan Miranda supaya Miranda mau mempertontonkan vaginanya di depan layar hape supaya Hermanto bisa onani melepaskan rindunya pada Miranda. Padahal sesungguhnya Hermanto hanya ingin menyenangkan hati Miranda saja, sebab Sabtu sore ini ia sudah membuat perjanjian dengan Sinta untuk mengajak Sinta makan dan belanja di mall.