Tokoh kita kali ini adalah Sarah. Gadis muda yang dikaruniai wajah jelita. Usianya baru 22 tahun saat dia menikah. Heru, suaminya kini, melamarnya setelah 2 tahun memacarinya. Bagi sebagian orang terutama kalangan modern penghuni kota besar, usia itu jelas dipandang terlalu muda buat menikah. Sarah sendiri menyadari hal itu.
Teman-temannya saat itu juga banyak yang mengkritik, “Buru-buru amat lo Sar, ga pingin meniti karir dulu?”, “Beneran lo dah mantep sama si Heru?”, “Kuliah lo gimana Sar?”, dan banyak lagi kata-kata semacam itu dari teman-temannya, tak terkecuali dari orang tuanya sendiri. Tapi Sarah tak bergeming. Usia Sarah terpaut 6 tahun dengan Heru yang saat itu 28 tahun.
Sebenarnya di usia itu Heru telah menjadi seorang eksekutif muda yang sukses, jadi masalah ekonomi sudah bukan masalah bagi keluarga baru mereka kelak. Tapi, di samping masalah ekonomi itu, Sarah punya alasan lain mengapa ia langsung menerima saat Heru melamarnya. Sepanjang 2 tahun berpacaran dengan Heru, mereka telah terbiasa dengan hubungan seks yang bebas. Sarah sendiri memang sudah terbiasa dengan pergaulan bebas sejak duduk di bangku SMA.
Sebelum berpacaran dengan Heru, dia menghitung sudah 5 pria yang pernah bersetubuh dengannya. Tidak semuanya pacar, hanya 2 orang yang pernah benar-benar berpacaran dengannya, 3 lainnya hanya teman, bahkan salah satunya hanya hubungan one night stand.
Jadi heru adalah laki-laki keenam yang hadir dalam kehidupan bebas Sarah. Diam-diam, saat itu Sarah yang benar-benar mencintai Heru sempat berpikiran bahwa Heru harus menjadi laki-laki terakhirnya. Sebenarnya saat berpacaran dengannya pun Sarah beberapa kali menjalin hubungan persetubuhan dengan seorang mantan pacarnya.
Orang bilang itu selingkuh, tapi bagi Sarah sendiri, dia melakukannya hanya untuk bersenang-senang karna dia memang sudah terbiasa melakukan itu. Mantan pacarnya itu pun sudah mempunyai pacar yang lain lagi. Jadi, Sarah tetap mencintai Heru yang dia pandang sudah mapan, lebih dewasa, dan secara penampilan, bagi Sarah Heru itu paling tampan dibanding lainnya.
Selama menikah Sarah bersyukur memiliki Heru dan tak ingin kehilangan dia. Tapi dasar kelakuannya itu sudah susah dirubah, kadang dia pun memaki dirinya sendiri yang terlalu ‘kegatelan’. Sarah tidak berdaya dan kembali jatuh ke dalam hubungan persetubuhan dengan laki-laki lain lagi yang baru dia kenal. Anton, namanya. Mahasiswa tingkat dua, penghuni baru kos sebelah.
Anton ini ini memang terkenal playboy. Penjahat kelamin sejati. Wajahnya memang cukup ganteng, pacarnya barangkali ada selusin lebih. Tapi, sekali lagi, hubungan Sarah dengannya juga sebatas bersenang-senang. Anton dan Sarah sama-sama tahu keliaran masing-masing. Anton tahu bahwa Sarah tahu tentang keplayboy-annya. Jadi hubungan mereka benar-benar tanpa ada embel-embel cinta dan tuntutan apapun. Semuanya murni nafsu.
Celakanya, karna Anton itu tetangga kos Sarah, maka hubungan persetubuhan mereka pun intensitasnya mulai melebihi hubungan Sarah dengan Heru yang berjarak cukup jauh darinya. Apalagi ditambah dengan kesibukannya gara-gara karirnya yang memang sedang menanjak. Sungguh Sarah benar-benar lemah kalau soal godaan seks ini. Walhasil, sudah 7 laki-laki pernah mengisi kehidupan liar Sarah saat itu.
Angka 6 yang dianggapnya lebih dari cukup, ternyata tidak bertahan lama. Tapi bagaimanapun Sarah berpikir, hatinya tetap milik Heru, sang laki-laki keenam. Itulah sebabnya dia langsung menerima lamaran Heru saat itu. Bahkan Sarah meminta Heru untuk mempercepat pernikahan mereka. Heru yang baru dapat promosi senang saja waktu itu tanpa ada kecurigaan apapun.
Sarah sendiri juga merasa tulus, hubungannya dengan laki-laki lain tidak pernah dianggapnya sebagai penghianatan, walau tentu saja tetap dirahasiakan dari Heru. Sarah benar-benar berharap dengan status barunya sebagai seorang istri bisa meredam gejolak liarnya, dan juga menghalangi orang untuk menggoda dirinya yang memang berwajah di atas rata-rata itu.
Kalau saja niat Sarah yang tulus itu benar-benar bisa berjalan lancar tentu cerita ini tidak akan pernah ada. Yah, apa daya, walau dia telah menikah, Anton tetap saja kerap mengunjunginya. Sarah juga tak kuasa menolaknya.
Suatu ketika dengan perasaan was-was, Sarah mengingatkan pada Anton, “Ingat Ton, jangan ada cinta! Hatiku tetap milik mas Heru!”
Dia khawatir Anton yang tak berhenti mengunjunginya itu gara-gara diam-diam menaruh cinta padanya. Tapi kekhawatirannya agaknya tak terbukti.
“Tenang mbak, siapa sih yang tidak senang bisa berhubungan dengan wanita secantik mbak tanpa ada tuntutan tanggungjawab apapun?” Jawabnya terkekeh.
“Aku juga masih muda, semua ini kita lakukan just for fun kan? Aku masih sadar dan merasa beruntung dengan itu.” Anton menegaskan pada Sarah untuk tidak khawatir dengan perasaannya. Kurang ajar juga, pikir Sarah, tapi Sarah sendiri pun sudah terbiasa menikmati hubungan semacam itu. Dia pun mencoba menunjukkan sikap tidak tersinggung dengan itu. Kadang dalam hati saat sedang merenung Sarah kerap berapologi membela diri sendiri.
“Suamiku sudah sangat sibuk di kantornya. Dia berangkat kerja pagi jam 7 dan pulang ke rumah jam 7 malamnya. Itu kalau tidak lembur. Apalagi tidak jarang juga di akhir pekan dia ada tugas keluar kota,” gumamnya dalam hati. “Walau memang hal itu sama sekali tidak mengurangi kemesraan kami sih,”
Saat ada di rumah, mas Heru agaknya tahu bagaimana memanfaatkan waktu yang tidak lama itu untuk habis-habisan bercumbu denganku. Aku pun merasa senang dengan hal itu. Hubungan sex-ku dengan suamiku tetap mesra, panas, dan baik-baik saja. Yang menjadi masalah mungkin hanya ‘kurang sering’ saja,” pikirnya lebih lanjut. “Agaknya libidoku ini terlalu tinggi.” Keluhnya.
Namun, belakangan Sarah mulai menyadari bahwa masalahnya bukan hanya itu. Otak nakalnya mulai menyatakan; “beda ‘batang’, beda rasa dan beda sensasi”. Sarah mulai memahami hal itu saat dia tak kuasa menerima laki-laki lain lagi selain Anton masuk ke dalam kehidupan seks-nya. Gila, 2 pria sudah yang diajaknya berselingkuh. Dialah Bambang, teman Heru -suaminya sendiri- saat kuliah. Nasibnya tidak seberuntung Heru.
Pekerjaan dan penghasilannya biasa-biasa saja. Dia seorang salesman yang kerjaannya keliling. Karna itulah dia sering sempat mampir ke rumah di tengah hari. Sarah yang sudah kenal Bambang lama sebagai teman Heru baik-baik saja menerima dia. Bambang selalu curhat pada Sarah tentang pekerjaannya. Keakraban mereka yang memang sudah lama membuat perselingkuhan terjadi tanpa membutuhkan waktu lama.
Hanya dalam kunjungan ketiga, Bambang sudah berakhir di ranjang Sarah. Bambang memang supel dan humoris, Sarah merasa sangat nyaman dan terhibur ngobrol dengannya. Yah, begitulah.
Di tengah hubungan gelapnya dengan Anton dan ditambah lagi Bambang, Sarah mulai berpikir, “Beginilah diriku. Aku memang binal, i just can’t help it!” Bahkan hubungan suami istri antara dia dengan suaminya yang masih harmonis dan saling mencintai, malah menjadi pembenaran baginya dalam melakukan hubungan gelap itu.
“Yang penting aku tetap cinta dengan suamiku, dan tidak sekali-kali hatiku beralih ke laki-laki lain. Hubunganku dengan Anton dan Bambang tidak akan merusak dan tidak membahayakan!” Begitu pikirnya mencari pembenaran yang tentu saja terbalik logikanya. Yah namanya juga pembenaran. Plesetan kata ‘selingkuh’, yakni ‘selingan indah keluarga tetap utuh’ benar-benar terjadi pada kasus Sarah ini. Yah setidaknya begitulah so far!
Sejujurnya, berbeda dengan Anton dan apalagi suaminya, wajah Bambang bisa dikatakan jauh di bawah mereka alias jelek. Sarah sendiri merasa heran bagaimana dia bisa berakhir di ranjang dengan orang seperti Bambang. Semuanya mengalir begitu saja saat itu. Maybe it was just the right time and the right place!?
Sarah juga tidak berpikir panjang, dan karna ternyata Bambang sama sekali tidak ‘mengecewakan’ dalam hal bercinta, Sarah pun tidak mengeluh. Bahkan, Bambang bisa dikatakan mengalahkan Anton yang playboy itu dalam hal memuaskan dirinya, kalau dibandingkan dengan Heru yang lebih jarang menggauli dirinya, apalagi.
Hanya saja kalau dipikir-pikir di malam hari, mengenang-ngenang persetubuhan dengan Bambang yang buruk rupa itu di siang harinya, Sarah tersenyum kecut sendiri dibuatnya. Tapi pada akhirnya dia malah sering merasa geli sendiri dengan hal itu. “Ahh sudahlah!” pikirnya.
Bagaimanapun, hubungan gelap Sarah itu harus terhenti ketika ia mulai hamil. Anton dan Bambang juga tahu diri. Walau begitu, sebagai teman, mereka kadang tetap mengunjungi Sarah tanpa mengharapkan seks. Sarah senang mereka begitu. Kehamilannya ini tidak mengurangi kesibukan Heru, jadi sering sekali dia membutuhkan teman di siang hari saat Heru bekerja.
Saat itu hadirlah seorang laki-laki lain dalam kehidupan Sarah. Dialah Tejo, keponakannya sendiri yang datang dari desa. Usianya baru 15 tahun-an atau kurang, yang jelas dia masih duduk di bangku SMP. Tejo adalah anak tiri dari kakak Heru, alias kakak iparnya. Berbeda dengan Heru yang merantau ke kota dan menggapai sukses, kakaknya itu tetap di desa dan hidup biasa-biasa saja.
Pernikahan pertamanya tidak dikaruniai momongan dan berakhir dengan perceraian. Beberapa waktu kemudian dia menikah lagi dengan janda beranak satu, yaitu ibu Tejo ini. Namun hidup kakak Heru tetap kekurangan dan akhirnya dia mengalami kesulitan dalam menanggung biaya sekolah Tejo yang sudah masuk SMP. Heru mendengar hal itu dan mengutarakan keinginannya untuk mengajak Tejo tinggal bersama dia dan Sarah di kota untuk disekolahkan di sana.
Tentu saja Heru akan menanggung seluruh biaya sekolah dan hidup Tejo. Yah bisa dikatakan seperti mengambil anak angkat, tapi memang tidak ada kata-kata mengangkat anak, adopsi, atau yang semacamnya. Niat Heru itu langsung disetujui oleh kakaknya dan dia merasa sangat berutang Budi dengan begitu. Tejo sendiri nurut-nurut saja, dan Sarah juga sama sekali tidak menunjukkan rasa keberatan.
Pada hari kedatangan Tejo, Sarah mengamati perawakannya dalam-dalam. Badannya kurus, kulitnya hitam legam. Dia tidak terlalu tinggi, barangkali sekitar 150cm. Wajahnya jauh dari tampan, yang terlintas spontan di benak Sarah saat itu adalah, “Benar-benar ndeso!.” Walaupun tentu saja banyak sekali orang-orang desa yang tampan. Contohnya ya suaminya sendiri, Heru yang notabene berasal dari desa yang sama dengan Tejo.
“Masuk Jo sini jangan malu-malu!” Panggil Heru pada Tejo yang berdiam di ruang tamu. Tejo pun masuk, Heru mengenalkan Sarah padanya, “Ini tantemu, tante Sarah, istri Oom!ayo salaman!”
Tejo meraih tangan Sarah dan sebagai sopan santun dia menundukkan kepala menyentuhkan keningnya pada punggung tangan tantenya itu.
“Saya Tejo tante!” Dia memperkenalkan dirinya.
“Ya, kamu baik-baik ya di sini, belajar yang baik nanti.” Kata Sarah basa-basi.
“Di sini santai saja nggak usah canggung, anggap saja rumah sendiri! Tante Cuma berdua sama Oom-mu di rumah ini.” Lanjutnya.
“Oom tiap hari ngantor, kami tidak ada pembantu jadi nanti kamu bantu-bantu tantemu ya.” Timpal Heru.
Tejo tidak banyak bicara saat itu, hanya sekedar mengangguk atau menggeleng dalam menjawab penjelasan-penjelasan Heru. Pikiran remajanya terusik dengan kecantikan Sarah. Benar-benar Sarah ini wanita tercantik yang pernah dia tahu sepanjang hidupnya.
Tejo memandangi Sarah dengan tertegun saat itu. Dia yang masih kecil tidak berusaha menyembunyikan pandangannya, atau mengalihkan muka dan berusaha curi-curi pandang pada Sarah. Tidak. Dia benar-benar terang-terangan memandangi wajah Sarah. Hanya saat bertemu pandangan mata dengan Sarah saja dia merasa segan dan mengalihkan pandangannya dari wajah Sarah, tapi turun ke tubuh Sarah dan bukan memandang ke arah lain.
Sama sekali tidak kelihatan salah tingkah, termasuk saat Sarah mengantar ke kamarnya dan membantu membereskan barangnya. Sarah jelas menyadari hal itu.
“Anak ini antara lugu atau tidak sopan,” pikirnya. Tampak tipis perbedaannya, tapi tentu Sarah menganggapnya lugu.
“Belum pernah lihat cewek cantik mulus ya?” Pikirnya lagi dalam hati kegeeran. Memang dalam pandangan Tejo itu tidak bisa disembunyikan kekagumannya pada tantenya itu.
Dalam bahasa binal Sarah; “Gila, mupeng banget ni anak! Hehehehe. Aduh, aku ini mikir apa sih, binal banget!” Sarah menghardik dirinya sendiri dalam hati.
Saat itu Sarah mengenakan pakaian sehari-hari biasa; daster tipis yang bawahnya hampir sejengkal di atas lutut. Pakaian yang dipikirnya jauh dari seksi. Daster yang sangat biasa sekali, jauh dari seksi karna agak longgar supaya tidak gerah. Benar-benar pakaian yang biasa dipakai ibu-ibu di rumah.
Tapi, ibu yang satu ini masih muda, putih, langsing, dan segar dipandang! Begitulah Sarah yang walaupun sudah jadi ibu tapi usianya memang masih terbilang muda. Tejo sendiri memang silau dengan paha Sarah yang terbuka bebas itu. Putih dan mulusnya itu benar-benar gak nahan.
Desa asalnya yang dekat pesisir itu memang nyaris tidak ada manusia berkulit putih di sana, semuanya berkulit gelap, hitam terbakar matahari yang sangat terik, tidak terkecuali anak-anak sekalipun dan para wanitanya. Heru sendiri juga berkulit gelap. Jadi, maklum saja, jangankan Tejo yang dari desa, pemuda kota seperti Anton pun blingsatan jika memandangi tubuh mulus Sarah itu.
Walaupun tengah hamil saat itu, Tejo tetap terpesona dengan tantenya itu. Berkali-kali dia menelan ludah, dan itu kentara sekali hingga disadari oleh Sarah sendiri. Dasar binal, Sarah tidak merasa risih sama sekali. Dalam hati dia malah jadi tidak bisa berhenti memuji-muji diri sendiri. Akibatnya dari luar tidak sadar dia suka senyum-senyum sendiri.
“Ada apa senyum-senyum sendiri?” Tanya Heru membuyarkan lamunannya.
Sarah terkaget, “Eh! mas ini, gak papa, gak ada apa-apa!” sahutnya tergagap.
“Tejonya mana?” Tanya Heru lagi.
“Ya lagi beres-beres pakaiannya di lemarinya mas, banyak juga bawaan dia,” jawab Sarah.
“Tadi aku bantu sebentar dengan barang-barangnya, tapi masalah pakaian biarlah dia yang menata sendiri.” Kata Sarah lagi.
Tidak lama kemudian, Sarah pun melahirkan. Anaknya cowok, mungil dan sehat. Sarah benar-benar bahagia saat itu, dia dan Heru menamai putra pertamanya itu Doni. Hari-harinya setelah itu pun disibukkan dengan mengurusi bayinya. Di tengah bahagianya, satu hal yang membuat Sarah resah adalah penampilan badannya yang menjadi seakan melar setelah melahirkan.
“Benar-benar menjadi tidak menarik,” pikirnya saat memandangi dirinya di depan cermin. Sarah yang menyadari kesempurnaan fisiknya itu memang sangat peduli dengan perawatan tubuh. Dia menyadari betul kelebihannya dan tidak mau kehilangan karunianya itu. Kalau berat badannya naik sedikit saja dia sudah panik dan langsung mengurangi makan.
Karna itulah Sarah menjadi sangat pintar dalam menjaga dan merawat kebugaran tubuhnya. Oleh karena itu, di samping kesibukan mengurus bayi, Sarah mencanangkan program pribadi: ‘mengembalikan keadaan tubuh seperti semula!’ Sarah berkata mantap dalam hati. Semangat banget dia kalau sudah bicara urusan penampilan. Dengan kedisiplinan dan keseriusannya, hasilnya pun segera nampak.
Bentuk badannya kembali normal tidak lebih dari 2 bulan. Suatu ketika sehabis mandi Sarah terlihat asik berpatut diri di depan cermin dengan hanya berlilitkan handuk.
“Yess, sudah ideal lagi bentuk badanku kini!” Sarah berbangga diri. Kebanggaan itu bahkan bertambah lagi dengan payudaranya yang semakin montok berisi gara-gara sudah memproduksi ASI di dalamnya.
Dia melepas handuknya dan mengelus-elus sendiri payudaranya yang membanggakan itu di depan cermin. Sambil tersenyum puas dan bangga tidak bosan-bosannya dia berlama-lama di depan cermin. Yah, bernarsis-narsis ria di depan cermin ini juga sudah menjadi kebiasaan Sarah sejak kecil.
Suatu ketika Anton mengunjunginya. Padahal saat itu hari minggu, jadi Heru dan Tejo sedang ada di rumah.
“Mau menengok bayi!” begitu alasan Anton.
Sarah memperkenalkannya sebagai teman saat kuliah pada Heru. Anton yang mendapati tubuh Sarah sudah kembali seksi seperti sediakala jelas mupeng berat.
Dia berbisik pada Sarah, “Gimana nih mbak, hampir setahun kita libur, menunggu bayimu lahir, eh sekarang ada si Tejo di rumahmu?”
Mendengar itu, Sarah mencubit lengan Anton sambil tertawa kecil, “kamu ini kirain sudah insyaf ternyata masih ngarep ya?” Godanya.
“Ya iyalah mbak, kamu ini kan wanita favoritku!” Rayu Anton masih berbisik.
“Gombal ih Ton, kamu kan banyak pacar mahasiswi yang masih seger-seger, muda-muda, dibanding aku yang sudah Ibu-ibu!” Sarah pura-pura tidak termakan rayuannya.
“Yah, mbak Sarah ini sok merendah! Gak mungkin mbak nggak nyadar dengan kecantikan sendiri. Jujur aja, kalau secara wajah dan bodi mbak ini nggak kalah deh dengan pacar-pacarku itu, tapi kalau masalah pengalaman dan pengertian, mbak Sarah jelas nomor satu!” Jawab Anton meyakinkan.
“Hubunganku dengan mbak Sarah ini yang paling ingin kupertahankan loh! Kita sama-sama mengerti, ga ada tuntutan satu sama lain. Dengan pacarku yang lain aku harus keluar uang buat makan, nonton atau apalah! namanya juga orang pacaran, repot. Sedangkan sama mbak Sarah gak ada embel-embel lain, tiap kali ketemu langsung tancap!” Terangnya nakal. Sarah sudah tahu keuntungan hubungan mereka itu, dia pun senyum-senyum menggoda Anton tanpa menjawab.
“Yah malah senyum-senyum menggoda nih, mentang-mentang manis,” ujar Anton gemas menjawil dagu Sarah.
“Eit! Kamu ini, kalau suamiku lihat gimana?!” Hardik Sarah pelan, dia pun menengok kanan-kiri, suaminya tidak ada, mungkin masih di kamar. Heru memang kurang pandai bersosialisasi dengan teman-teman maupun keluarga Sarah.
“Huh, aman..” pikir Sarah. Tapi dia kemudian terhenyak melihat keberadaan Tejo di teras yang tidak terhalang pintu dengannya. Tejo yang sedang meyirami tanaman tampak fokus pada pekerjaannya, tapi andai tadi dia melihat ke dalam ruang tamu pasti dia menyaksikan peristiwa tadi.
Sarah tidak tahu apakah Tejo tadi melihat, tapi hatinya jadi was-was juga, “uh kamu sih, udah datangnya hari minggu, malah ga liat-liat keadaan!” Tukas Sarah pelan.
Anton tidak kelihatan menyesal malah tersenyum nakal, “Kamu ini terlalu parno, ga mungkin tadi dia mengintip kita!” jawabnya menenangkan.
Sarah tetap merengut kesal. Anton yang mengangggap Sarah sedang merajuk bermanja malah merasa ge-er. Dalam hatinya dia girang, Sarah belum lepas dari pelukannya. Cuma satu masalahnya, si Tejo ponakannya ini keberadaannya jelas mengganggu.
“Apa besok-besok kita perlu keluar ke hotel atau!”
“Ssst!” Sarah memotong pertanyaan Anton kesal.
“Bisa nggak sih mikirnya nggak ke situ melulu?”
Walau dalam hati Sarah juga merindukan permainannya lagi dengan Anton dan bahkan Bambang seperti masa-masa sebelum hamil dulu. Memang nyaris setahun hubungan gelap itu terhenti. Tidak hanya dengan Anton dan Bambang, dengan suaminya sendiri otomatis juga berhenti. Sarah sudah mulai membayangkan kenikmatan aktifitas seks lagi setelah pesonanya kembali seperti sedia kala, bagai perawan yang belum pernah menikah apalagi melahirkan bayi.
“Tejo memang tinggal di sini, tapi dia kan anak sekolah Ton! Jadi dari pagi sampai siang sebelum Tejo pulang ya di sini dijamin masih aman!” Terang Sarah mengerling.
Anton jelas girang mendengar kalimat Sarah itu.
“Baru saja dia minta mengalihkan pembicaraan, ternyata kepikiran juga. Dasar!” Batin Anton.
Tapi benar juga, pikirnya. Walaupun tidak seperti dulu yang bisa memuaskan diri mencumbu Sarah sampai sore, dengan keberadaan Tejo bakal jadi terbatasi sampai siang saja. Tapi lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali! Tidak ingin menunggu lama, Anton “membooking” Sarah senin besoknya langsung.
Sarah yang dalam hatinya sempat kepikiran ingin jual mahal dengan menolak, tapi yang keluar dari bibir indahnya itu malah mengiyakan begitu saja.
“Duh, keliatan banget pengennya aku ini!” gerutu Sarah dalam hati.
“Biarlah, kalo sama dia sih ga mempan jaim!” Sarah terus bergumam dalam hati sambil mengantarkan Anton keluar rumah.
“Oi, Jo, mas pulang dulu!” Anton berpamitan pada si Tejo dengan gaya ‘sok kenal sok dekat’.
“Ya, Oom!” Jawab Tejo sambil menyirami tanaman.
“Loh kok Oom sih? Aku ini masih mahasiswa lha!” Sahut Anton.
“Mahasiswa abadi! Pantes dong dipanggil Oom!” Sarah ikut menyahut, “Skripsi dah ganti judul 2 kali, mau lulus kapan Oom?” lanjut Sarah menggoda.
“Gimana mau lulus, garap skripsi ga bisa konsen mikirin tante Sarah terus, lagian kalo lulus nanti kudu pulang kampung ga bisa main bareng tante Sarah lagi dong.” Canda Anton.
Gebleg! Pikir Sarah, di depan Tejo dia malah terang-terangan menggoda begitu. Tapi Sarah tidak ambil pusing, entah apa yang dipikirkan Tejo, begitu Anton pergi dengan motornya Sarah langsung masuk rumah, bergegas menuju kamar suaminya.
“Sebelum besok ‘dikerjain’ Anton, habis hamil mustinya suamiku dulu yang merasakan tubuhku lagi,” Pikir Sarah. Seks perdana setelah hamil, ga etis kalau langsung diberikan ke orang lain dulu. Lagipula perbincangan dengan Anton tadi memang membuat dia horny berat. Langsung butuh pelampiasan! Dengan semangat 45 Sarah masuk kamar. Tapi, alangkah kecewanya Sarah mendapati suaminya tertidur pulas tidak bisa dibangunkan.
“Nyebelin banget sih!” gerutu Sarah. Tapi dia sendiri sudah hafal, kalau hari minggu seperti ini suaminya itu emang lebih sering menghabiskan hari dengan tidur. Sebelum hari ini Sarah tidak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi kali ini dalam keadaannya yang sedang ‘on’ jelas bete Sarah dibuatnya.
Tiba-tiba Sarah mendengar tangisan Doni.
“Wah, terbangun rupanya dia!” Pikir Sarah. Dia pun segera mendatangi bayinya itu.
“Sudah waktunya mimik susu ya cayang?”
Sarah mengangkat bayinya, “Yailah biasa deh ngompol!” keluh Sarah.
Sarah langsung memanggil Tejo meminta bantuan, “Jo, sudah selesai kan nyiram tanamannya? Tolong ambilin popok Doni ya!” Pintanya.
“Ya udah selesai dari tadi dong tante, emang halaman tante segede apa?” Jawab Tejo sambil segera memenuhi perintah tantenya itu.
“Makasih ya,” Sarah menerima popok dari Tejo dan dengan sigap mengganti popok Doni.
Tejo melihat tantenya dengan kagum, meskipun baru jadi ibu, Sarah memang tidak terlihat canggung dan sangat cekatan mengurusi segala keperluan bayinya itu. Inilah kelebihan Sarah, walaupun binal, naluri keibuannya tinggi. Selesai mengganti popok, Sarah menggendong Doni dengan 1 tangan, sementara tangan satunya mulai melolosi kancing bajunya satu demi satu dari atas.
Melihat hal itu mata Tejo langsung melotot tahu apa yang akan terjadi, sebentar lagi tantenya ini akan mengeluarkan buah dadanya untuk menyusui Doni. Glek! tanpa sadar Tejo menahan napas dan menelan ludah. Belum apa-apa penisnya langsung mengeras di balik celananya. Akan tetapi sambil membuka kancing bajunya, dan belum sempat mengeluarkan payudaranya itu, Sarah sudah menyuruh Tejo membawa popok kotor Doni ke belakang.
“Tolong, bawa popok kotor ini ke belakang ya, ditaruh di ember biru!” Pinta Sarah sambil melepas kancing ketiga di bajunya. Dugaan Tejo itu kancing terakhir yang harus diloloskan supaya tantenya itu bisa mengeluarkan payudaranya dengan mudah dan bebas. Sungguh sial!
“Eeh, i.. iya tante, baik..” Tejo tidak menduga perintah itu dan menjawab dengan napas agak tercekat. Tenggorokannya kering gara-gara terangsang.
“Duh belum rejekinya nih,” gerutunya dalam hati saat membawa popok kotor Doni ke belakang.
Saat kembali Tejo tidak menduga ternyata tantenya yang telah menyusui Doni itu tidak masuk ke dalam kamar, melainkan duduk dengan santai di ruang tengah. Tidak diduga juga, Tejo melihat ternyata Tantenya melolosi semua kancing bajunya walau hanya untuk mengeluarkan 1 buah dadanya itu.
Sungguh tidak disangka, padahal dengan meloloskan 3 kancing saja, sudah cukup terbuka untuk bisa mengeluarkan 1 buah dada, tapi tantenya ini sedang kegerahan rupanya, pikir Tejo. Tejo sama sekali tidak punya perasaan bersalah membayangkan tantenya dengan pikiran-pikiran nakal seperti itu. Bahkan dia mulai mempertimbangkan untuk ikut duduk di ruang tengah menemani tantenya yang sedang menyusui itu.
Dia membayangkan bisa melihat dari dekat kemulusan kulit payudara tantenya yang putih bersih itu. Tak mengapa, pikirnya, walau dia melewatkan adegan dikeluarkannya payudara itu dari sarangnya sehingga dia akan sempat mengintip puting yang menjadi ‘point of interest’ dari buah dada sebelum dicaplok mulut Doni yang sangat lahap itu.
Tejo membayangkan dirinya sudah cukup senang dengan suguhan kulit payudara terbuka tante Sarah. Tapi Tejo ragu juga, jangan-jangan setelah dia ikut duduk di sana, tantenya malah mengusirnya. Malu dong kalau begitu.
Walau ragu toh Tejo melangkah juga mendekati tantenya itu. Lagi-lagi tanpa terduga, Sarah yang melihat Tejo mendekat memanggilnya, “Gimana Jo, sudah nggak ada kerjaan ya? Sini duduk sini istirahat sambil ngobrol sama tante!” Bagai disamber geledek Tejo mendengar kata-kata tantenya itu. Tante Sarah benar-benar penuh kejutan! Pikirnya girang.
Tejo duduk di depan Sarah. Jantungnya blingsatan nggak karuan melihat dada tantenya yang terbuka bebas gara-gara kancing bajunya terlepas semua itu. Satu buah dada keluar dan sedang dihisap Doni dengan lahap. Sementara buah dada satunya tersembunyi di balik kain baju Sarah. Hanya bagian sampingnya yang terlihat karna kancing baju yang terbuka semua.
“Putiiihh muluuussss!” batin Jo yang mulai berkeringat dingin melihat pemandangan luar biasa itu. Di dalam benaknya terbayang-bayang seperti apa puting payudara tantenya ini yang saat itu dalam keadaan ‘tersensor’.
“Duh, kayak apa ya indahnya, bisa-bisa aku pingsan saking bahagianya kalau bisa melihat susu tante Sarah secara utuh! Lha wong begini saja sudah blingsatan aku dibuatnya!” Lamunan mesum tentang tantenya sendiri itu terus menari-nari di benak Tejo. Walau begitu, tampak luar, Tejo berusaha sekalem mungkin di depan Sarah.
Bukan Sarah namanya kalau tidak menyadari kegelisahan Tejo. Sepintar apapun Tejo menyembunyikannya Sarah tetap bisa melihatnya. Padahal, Sarah sama sekali tidak bermaksud menggoda Tejo dengan membuka seluruh kancing bajunya dan mengajak Tejo mengobrol sementara dia menyusui bayinya. Sarah biasa melakukan itu saat menyusui bayinya di dalam rumah.
Dia suka payudaranya keluar dengan bebas tanpa hambatan. Dan yang namanya ibu menyusui dianggapnya bukan sesuatu yang binal sama sekali. Jangankan di dalam rumah, di luar rumah saja orang-orang akan maklum jika seorang ibu harus mengeluarkan buah dada untuk menyusui bayinya.
Walau ada pakaian khusus ibu yang menyusui, yang memungkinkan seorang ibu membuka area puting susu saja tanpa mengekspos seluruh buah dadanya saat harus menyusui bayi, Sarah sama sekali tidak memiliki baju semacam itu. Mungkin karena dia memang sangat jarang keluar rumah sehingga dia tidak merasa perlu memiliki baju seperti itu.
“Bagaimana sekolahmu Jo? Tante dengar kamu nakal ya di sekolah?” Sarah mengawali perbincangan. Dia berusaha serileks mungkin supaya keadaan tersebut tampak wajar dan bukannya seperti seorang tante yang sedang merangsang ponakannya sendiri.
“Ah nggak kok tante, Tejo rajin belajar kok di sekolah!” Jawab Tejo. Dia pun sama berusaha bersikap sewajar mungkin meski di ‘bawah’ sana terjadi gejolak hebat.
Sarah sendiri tidak berbasa-basi dalam topik perbincangan ini. Dia memang ingin mengajak bicara Tejo tentang masalah sekolah ini. Sebelumnya orang tua Tejo memang sempat menyampaikan perilaku Tejo yang agak badung. Pergaulannya dengan anak-anak nakal dan kerap membolos sekolah. Meski begitu, otaknya memang cukup encer untuk bisa memahami tiap pelajaran di sekolah.
“Bukan masalah itu Jo, tante tahu kok, tante juga sudah melihat nilai hasil ulanganmu yang sudah-sudah. Nilai-nilaimu memang nggak mengecewakan. Tapi yang tante maksud masalah pergaulan kamu Jo!” Sarah meneruskan pembicaraan. Tejo pernah beberapa kali mengajak teman sekolahnya main ke rumah.
Sarah melihat ada 5 teman yang selalu di bawa Tejo main ke rumahnya. Memang Sarah hanya menilai penampilan luar ‘geng’ Tejo yang terlihat urakan. Baju kumal yang dikeluarkan, sepatu tanpa kaos kaki, memakai topi terbalik, bahkan ada yang bertato dan bertindik.
Sarah juga melihat ada yang membawa rokok walau belum pernah sekalipun mereka merokok di rumahnya. Sarah dan Heru yang agak liberal sebenarnya cuek dengan hal-hal semacam itu! Asal tidak mabuk, ngedrugs atau tawuran aja sih, pikir Sarah waktu itu. Tapi ada baiknya jangan sampai tidak ada komunikasi antara dia dengan Tejo yang notabene di bawah asuhannya kini.
“Tante tidak menghakimi teman kamu atau ngatur-ngatur kamu sih Jo, sejauh tante lihat meski penampilannya urakan teman-teman kamu cukup sopan kalau main kemari!” Sarah tersenyum mencoba tidak terkesan angker. Dia takut Tejo salah paham mengira dia sedang diceramahi apalagi dimarahi.
“Iya tante, walau penampilannya begitu teman-teman Tejo itu baik-baik kok!” Jawab Tejo singkat.
“Ya makanya itu, sejauh yang tante lihat di sini sih tante tidak ada komplain. Tapi takutnya kamu di luar suka terlibat tawuran atau yang semacamnya! Nggak kan Jo, kamu bisa menjaga kepercayaan tante kan Jo?” Tanya Sarah lembut.
“Wah nggak tante kalau sampe tawuran mah! Tejo nggak pintar berkelahi tante, badan Tejo kan kecil! Tejo ini kalahan tante!” Tejo mencoba meyakinkan.
“Ah kamu bisa aja Jo! Ya sudah tante sih percaya aja sama kamu. Yang penting kamu jaga nilai-nilai kamu tuh, jangan sampai turun ya?” Sarah berpesan, “Oh ya, kalau bisa teman-teman kamu kalau main ke sini lagi dikenalin lah sama tante. Tante di sini kan pengganti orang tuamu Jo.” Lanjut Sarah.
Pembicaraan mereka terus berlanjut santai, sambil saling menyembunyikan perasaannya masing-masing. Sarah mulai menyadari, ternyata keadaan dirinya yang merangsang Tejo itu juga membuat dirinya sendiri terangsang. Jadi Sarah merasa terangsang memikirkan bahwa saat ini di depannya Tejo sedang terangsang dengan dirinya. Lagipula sebelumnya memang dia dalam keadaan terangsang dan tidak mendapatkan pelampiasan.
Walau mulai hilang ketika dia menyusui Doni dan bebrbicara dengan Tejo, perasaan itu datang lagi dalam bentuk yang berbeda. Mulanya hal itu dirasakan sebagai perasaan yang aneh mendesir dalam dadanya, belakangan Sarah sadar bahwa perasaan itu adalah rangsangan seksual yang memang tidak lazim. Sarah mulai membayangkan dirinya sebagai wanita penggoda atau jangan-jangan malah seorang ekshibisionis.
Anehnya, walau sama-sama mencoba bersikap wajar menyembunyikan gejolaknya masing-masing, Tejo ini tidak berusaha menyembunyikan pandangannya terhadap dada Sarah yang terbuka itu. Persis seperti saat pertama bertemu. Sarah tahu hal itu, dan Tejo juga sebenarnya sadar bahwa tantenya itu tahu bahwa dirinya terus menatap buah dadanya. Suasana itu terus terjadi sepanjang Doni menyusu pada Sarah.
Terkadang saat topik pembicaraan habis, suasana berubah menjadi serba canggung, baik Sarah maupun Tejo seperti terkunci dalam posisi masing-masing. Tidak satupun dari mereka yang beranjak.
Bedanya, jika Tejo terangsang dan membayangkan pelampiasannya pada tantenya itu, Sarah yang terangsang jelas tidak membayangkan pelampiasannya pada Tejo. Dia lebih membayangkan ingin segera bermasturbasi sambil membayangkan Anton yang besok akan datang untuk mendaki kenikmatan bersama lagi seperti dulu.
Baru pada saat Doni kenyang menyusu dan Sarah mengancingkan bajunya kembali, kunci itu seakan dibuka. Seakan terlepas dari belenggu, Sarah dan Tejo sama-sama bangkit dari duduknya. Hal itu menimbulkan perasaan aneh canggung di antara keduanya.
Bagaimana tidak, begitu Sarah menutup bajunya, dia dan Tejo bangkit dengan cepat dalam waktu yang benar-benar bersamaan. Benar-benar seperti orang yang baru menonton film di bioskop dan filmnya berakhir, atau seperti murid-murid dalam kelas yang mendengar bel tanda akhir pelajaran berbunyi.
“Eh, mau kemana Jo?” Sarah spontan bertanya canggung. Pertanyaan bodoh! Pikirnya. Ngapain juga bertanya begitu.
“Eh, yaa… mau ke kamar tante…” Jawab Tejo sama canggung.
“Ya udah, tante juga mau ke kamar tante… yuk…” Sahut Sarah. Jawaban ini juga disesalinya, duh ngapain juga dijawab lagi? Mau ke kamar aja saling pamitan!? Batin Sarah menghardik dirinya sendiri.
Mereka berdua segera menuju kamar masing-masing. Dapat diduga adegan selanjutnya yang terjadi adalah, baik Tejo maupun Sarah sama-sama bermasturbasi dengan hebat di kamar mandi masing-masing. Paahal ketika Sarah memasuki kamar, dia mendapati suaminya sudah terbangun dan sedang asik di depan laptopnya. Tapi entah kenapa Sarah lebih memilih bermasturbasi diam-diam di bawah shower dalam kamar mandinya.
“Duuh Tejo, kamu ini nakal banget sih memandangi tante seperti itu? Gak malu-malu gitu loh kamu ini melototin buah dada tante. Tante benar-benar merasa ditelanjangi oleh kamu Jooo… Nakal kamu Jo! Kamu mau memperkosa tante ya?! Kurang ajar kamu Jo, nakal kamu…!”
Dalam benak Sarah terus mengalir kata-kata kotor tentang Tejo semacam itu di tengah masturbasinya yang begitu hebat. Dia menggosok-gosokkan jari pada memeknya dengan kencang, dipelintir-pelintirnya klitorisnya sendiri, di bawah shower yang deras.
“Ouuhh…” “Aaaahhh…” rintihnya pelan.
“Duuh, tanteku sayaaang… Tante kok cantik sekali siiih? Mulus sekaliii…! Tejo ngaceng berat melihat tante tau nggaak…? Tanggung jawab dong tantee… Ini semua gara-gara tante terlalu cantik! Putihhh mulus… Bisa-bisanya sih ada perempuan secantik Tante di dunia ini.. Terus bagaimana nasib laki-laki kayak Tejo tante? Apakah Tejo selamanya hanya bisa memandang tante tanpa dapat meraih kenikmatan dari tante? Tejo ga terima kalau Tejo ga bisa nikmatin tubuh tante! Aahh tejo ga kuat tantee… Puaskan Tejo tantee… mana susumu tantee, Tejo ingin kenyot sampe puas tante, pliss tantee… pliss…!”
Begitulah kalimat-kalimat mesum tentang tantenya sendiri yang terus diucapkan Tejo dalam hati di tengah-tengah kocokannya pada batang pelernya yang sudah mengeras dari tadi.
“Kasihan kamu pelerkuu… kamu tersiksa dari tadi ya?? Kamu mau memek tante Sarah ya?? Tuhh tante, tanggung jawab dong! Ayo tante…!” Tidak ada perasaan bersalah sama sekali membayangkan tantenya sendiri seperti itu. Tidak lama Tejo beronani, tidak sampai 10 menit spermanya sudah berhamburan keluar banyak sekali.
“Crooott..croott!”, “Ooohhh… tantee… terima pejuku tantee… Enak nggak tante, hangat kan tante…??” Tejo tetap membayangkan hal-hal kotor terhadap Sarah benar-benar sampai tetes spermanya yang terakhir.
Sementara dengan Sarah, tentu masturbasinya tidak berakhir secepat itu. Bahkan kini di kamar mandi ia mulai kebingungan mencari-cari benda yang bisa digunakan untuk menggaruk memeknya yang terasa sangat gatal itu. Pancuran air dia setel yang paling deras diarahkan langsung ke bibir memeknya, “ooouuhhh…” Nikmat rasanya tapi tetap saja hal itu tidak cukup bisa memancing cairan cintanya untuk munrat keluar.
“Duh gimana ini, aku kok jadi blingsatan begini?” Sarah terus mencari-cari. Dia menggenggam satu demi satu benda yang ada di situ, dari sabun, botol shampo, botol parfum, semuanya dia timbang-timbang untuk dapat digunakan menyodok-nyodok memeknya sendiri.
“Uuhh sial, ga ada yang pas sih bentuknya!” Makinya dalam hati. Sarah meraih handuk, dililitkannya ke tubuhnya yang masih basah dan bergegas keluar. Dia bermaksud mengambil dildo yang dia simpan dalam lemari.
Tentu dia berharap suaminya sudah keluar kamar saat itu supaya dia tidak melihat dirinya mengambil dildo. Sarah memiliki beberapa koleksi dildo yang suaminya sendiri tidak tahu. Sial, ternyata suaminya masih betah aja di dalam kamar berkutat dengan laptopnya.
“Mas kok nggak keluar sih?” Tanpa sadar Sarah bertanya ketus pada Heru.
“Gak ah lagi males!” Jawab Heru tanpa menoleh. Dia tidak menyadari keketusan Sarah.
Sarah pun ngeloyor keluar kamar.
“Lho mau kemana kamu kok masih handukan aja gitu? Pakai pakaian dulu!” Tanya Heru baru menoleh dan melihat keadaan istrinya.
“Emang aku belum selesai mandinya kok! Ini mau ambil sabun di dapur! Sabun habis!” Sahut Sarah berbohong. Tujuannya sebenarnya mengambil mentimun di lemari es. Seingatnya, masih ada beberapa mentimun yang dia simpan di sana. Kaget sekali Sarah ketika menuju dapur berpapasan dengan Tejo yang sudah selesai duluan mandi (dan bermasturbasi) nya.
“Eh, Tejo, sudah mandi kamu?” Tanya Sarah menyembunyikan keterkejutannya.
“Sudah tante!” Jawab Tejo. Gila! tantenya ini tahu-tahu muncul di hadapannya dengan tubuhnya hanya berbalut handuk kecil. Badannya yang masih basah juga tercium wangi sabun darinya membuat penis Tejo langsung berdenyut lagi. “Shiiit! Mulus abisss!” gumamnya dalam hati.
“Tante sendiri baru mandi juga tante?” Tanya Tejo sekenanya.
“Ya, tapi tante belum selesai mandinya ini mau mengambil sesuatu Jo.” Jawab Sarah membuka kulkas.
“Duh, kok nggak ada sih? Apa sudah habis, perasaan kemarin masih ada!” Gerutu Sarah.
Tejo yang memandang takjub dari belakang Sarah yang sedang menungging di depan kulkas mulai meremas-remas selangkangannya sendiri.
“Aduh, tante jangan siksa Tejo begini terus dong…!” dalam hati Tejo terus mengata-ngatai tantenya dengan kata-kata kotor. Handuk yang digunakan melilit tubuh tantenya itu memang tebal tapi tidak terlalu besar. Handuk putih itu hanya bisa menutupi sebagian kecil pahanya di bawah pantat. Tejo benar-benar memuaskan matanya melahap pemandangan indah di depannya.
Dari betis, paha, hingga pundak tantenya yang terbuka dipelototinya bergantian tanpa henti. Kulitnya yang putih mulus dihiasi butiran-butiran air itu benar-benar mempesona Tejo. Sesekali dengan gerakan kecil Sarah, butiran-butiran air itu tergelincir satu-demi satu di atas halus kulitnya. Hal itu makin membuat Tejo mengangankan menyentuh dan mengelus kulit itu, merasakan lembutnya, menikmati putihnya.
Dalam posisi menungging begitu, pantat Sarah yang montok menghadap langsung ke arah Tejo. Tambahlah Tejo tak kuasa terus membayangkan keindahannya jika tidak tertutup handuk seperti itu. Dibayangkan juga lubang keramat yang bukitnya dihiasi bulu-bulu halus terselip di antara kedua bongkahan pantat montok tersebut. Bahkan Tejo berpikir nakal, “kalau aku jongkok pasti memek tante bisa kulihat…”
Gelisah sekali Tejo memikirkan hal itu. Dia bimbang untuk berjongkok atau tidak. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Kalau aku jongkok sadarkah tante kalau aku berusaha mengintip selangkangannya…?” Tejo bertanya pada diri sendiri dalam hati.
“Pasti tante sadar deh, tapi mungkin juga tidak… mungkin aku bisa berpura-pura ikut membantu… atau pura-pura keseleo di kaki… atau… duh gimana ya, jongkok… tidak… jongkok… tidak…”
Dalam hatinya terus bergolak pertanyaan itu. Dianggapnya ini kesempatan langka yang jarang ada. Tejo yang tidak kunjung berani berjongkok memaki dirinya sendiri pengecut, maho, payah, dan sebagainya.
“Emangnya cari apa tante, kok di kulkas nyarinya?” akhirnya Tejo bertanya.
“Tante nyari timun Jo, kamu yang makan ya, perasaan kemarin masih ada?” ups, tanpa sadar Sarah menjawab jujur pada Tejo.
Benar saja Tejo langsung bertanya lagi keheranan, “Loh, buat apa mentimun buat mandi tante?” Dalam hati dia menyesal karna kesempatannya sudah berlalu. Kini tantenya sudah bangkit dan menutup kulkas. Walau begitu pikirannya makin keruh mendengar tantenya itu mencari timun. Penisnya makin berontak saja di balik celana jeansnya yang sempit. Sarah sendiri juga menyadari kekeliruannya dan menjadi gelagapan memikirkan jawabannya.
“Ya buat masker wajah Jo, kamu tahu kan kayak di majalah-majalah itu loh, timun diiris-iris dan ditempelkan di wajah. Itu berkhasiat buat kulit wajah bersih dan kencang Jo…” Fiuuh… Sarah merasa lega bisa menjawab begitu. Jawaban itu cukup masuk akal baginya. Tejo juga tampaknya mangut-mangut paham.
“Makanya kamu lihat gak mentimun tante?” lanjutnya bertanya pada Tejo.
“Nggak lihat tante, bukan Tejo kok yang makan, mungkin Oom Heru tante.” Jawab Tejo.
“Emang nggak bisa pakai yang lain ya tante?” Tejo bertanya lagi.
“Duuh, ya pakai apa ya kalau nggak pakai mentimun…?” sahut Sarah sambil berpikir, tapi jawaban itu terdengar seperti balik bertanya pada Tejo.
Tanpa diduga Tejo menjawab, “Mmm… Kalau pakai jagung bisa nggak tante?” Terkejut sekali Sarah dengan pertanyaan Tejo itu.
“Haah, ada-ada aja kamu, emangnya jagung bisa buat masker wajah?” Tanya Sarah gusar.
“Ya Tejo gak tahu tante. Kan tante lebih tahu kalo masalah itu…” Jawab Tejo.
Sarah benar-benar masih terkejut, bisa-bisanya Tejo memberi alternatif jagung untuk pengganti timun yang dia cari. “Jangan-jangan ni anak tahu maksudku? Duuhhh parah!” Keluh Sarah dalam hati.
“Kalo jagung memangnya ada Jo?” Ternyata Sarah bertanya juga penasaran.
“Ada tante, Tejo baru beli jagung rebus sama abang yang lewat di depan.” Jawab Tejo. “Kalau bisa ya gapapa Tejo kasih tante, tapi kalau gak bisa ya sudah…” lanjutnya.
“Eh, bisa Jo… bisaa! Bisa kok, boleh buat tante Jo?” Sahut Sarah penuh harap. “Tante baru ingat kayaknya Tante pernah liat juga di majalah…” lanjutnya ngeles.
“Ooh, ya kalau bisa pake aja tante, gapapa kok nanti Tejo bisa beli lagi. Tapi gimana caranya tante jagung dibuat masker…?” Tejo menjawab sambil berjalan menuju kamarnya untuk mengambil jagung yang baru dibelinya. Sarah mengikutinya dari belakang.
“Ni anak pake ngejar masalah masker lagi… Mana bisa, monyong?!” Batin Sarah agak kesal tapi bercampur geli.
“Ee, iya kayaknya sih Tante pernah liat gitu di majalah… Nanti Tante liat-liat lagi. Memang banyak Jo tips-tips tentang kosmetik alami begitu. Kayaknya semua buah-buahan bisa dimanfaatin buat perawatan begitu Jo…” Sarah menjawab sekenanya aja. Gak tahu deh Tejo peduli apa nggak dengan jawaban itu.
“Eh, besar nggak Jo jagungnya?” Nah lo, dasar sableng Sarah malah iseng bertanya begitu.
“Biarin deh, ngapain jadi keliatan kagok… Sekalian aja aku pancing-pancing ke yang menjurus begitu. Sambil liat juga gimana reaksi dia…” Begitu pikir Sarah mulai nakal.
“Besar juga kok tante, niih… Besar kan?” Tejo menjawab santai sambil mengeluarkan jagung dari dalam kresek hitam. Raut mukanya terlihat biasa-biasa saja. Jagung rebus di tangan Tejo itu masih hangat, masih terlihat sedikit uap mengepul dari batangnya yang masih terbungkus kulit. Sarah langsung meraih jagung itu seperti tak sabar, “sempurna!” Pikirnya girang.
Dia tidak menanggapi kata-kata Tejo karna tidak tahu harus menjawab apa. Walau dia cukup kaget dengan jawaban Tejo, tapi dia melihat ekspresi Tejo tampak biasa-biasa saja. Raut mukanya tidak berubah.
“Duh, aku aja kali yang mikirnya terlalu liar kebablasan, gimanapun dia ini kan masih kecil… Ponakanku sendiri lagi!” Pikirnya menyesali diri.
Ternyata penyesalan Sarah tidak lama karna sesaat kemudian Tejo menambahi, “Mungkin gak sebesar timun tante sih… Tapi segitu juga cukup besar kan tante? Gimana tante, ukurannya pas nggak?” tanyanya sambil tersenyum yang bagi Sarah terlihat seperti senyum mesum.
“Gebleeg ni anak…!” maki Sarah dalam hati. Kini Sarah benar-benar hampir yakin Tejo sudah menduga dan membaca pikirannya.
“Iya Jo segini mah cukup besar… Pas dengan keinginan tante! Makasih ya…!” Jawab Sarah sambil menggenggam jagung itu di tangan kanannya. Dia seperti ingin menunjukkan genggaman itu pada Tejo.
Tejo terdiam menelan ludahnya, “glek!”
Benar-benar aneh rasanya peristiwa itu. Seorang tante dan keponakannya yang masih SMP berbincang dengan kata-kata menjurus seperti saling menggoda. Walau itu didasari oleh asumsi satu sama lain. Sarah yang berasumsi Tejo tau pikirannya, dan Tejo yang berasumsi tantenya hendak bermasturbasi dengan batang jagung yang diberinya.
Hati keduanya hanya berasumsi dan terjadilah percakapan yang sama-sama memacu degup jantung masing-masing. Walaupun asumsi-asumsi tersebut benar adanya, tentu saja baik Tejo dan Sarah tetap tidak ada yang tahu secara pasti. Tapi diam-diam timbul keinginan di dalam hati keduanya untuk memastikan hal itu.
Yang jelas, setelah berterima kasih pada Tejo, Sarah langsung bergegas kembali ke kamar mandi. Disembunyikan jagung dari Tejo itu di balik handuknya supaya suaminya tidak melihat. Sementara Tejo yang penisnya sudah menegang lagi juga buru-buru masuk ke kamarnya. Adegan masturbasi bersama di kamar masing-masing pun terjadi lagi dengan jauh lebih bersemangat dibanding sebelumnya.
Kali ini Tejo tidak melakukannya di kamar mandi. Dia berbaring di kasurnya sambil matanya menerawang ke langit-langit. Dia mengelus penisnya pelan, mengurutnya, kadang mempercepat gerakan tangannya, tapi saat hendak mencapai klimaks dia buru-buru memperlambat gerakannya. Kali ini dia ingin berlama-lama membayangkan keindahan tantenya.
Berbagai bayangan jorok terus menari di benaknya. Ketelanjangan tantenya, kemontokan payudaranya, putih mulus kulitnya. Tejo membayangkan senyum manis tantenya, dia mengkhayalkan mengecup bibirnya, membenamkan wajahnya di antara buah dadanya, menciumi permukaannya yang wangi, dan seterusnya… Tejo tak ingin bayangan-bayangan indah itu segera berlalu.
Tentu saja semua itu sangat tidak pantas dia lamunkan terhadap Sarah yang jelas-jelas tantenya sendiri. Istri Oomnya yang dia hormati. Yang selama ini telah mengasuh dan membiayainya bagai anak sendiri. Tapi bagai kerasukan setan, pikiran semacam itu jelas hilang sama sekali dalam benak Tejo.
Apalagi terus terbayang juga dalam benak Tejo tantenya di kamar mandi pada saat yang bersamaan juga sedang asik menyodok-nyodok memeknya dengan jagung pemberiannya. Dengan bayangan itu makin tidak terpikir perasaan bersalah apalagi kesadaran moral dalam diri Tejo.
Yang ada Tejo malah makin terobsesi dengan tantenya sendiri itu. Tejo jelas tidak tahu pasti bahwa Sarah bermasturbasi dengan jagung pemberiannya. Bisa saja tantenya itu memang hendak memanfaatkannya untuk perawatan kulit, seperti penjelasannya. Tapi Tejo lebih senang membayangkan adegan masturbasi itu (di mana kenyataannya memang itulah yang terjadi). Terlebih lagi terus terngiang-ngiang juga percakapan singkat yang ‘ajaib’ tadi.
Hal serupa jugalah yang dialami Sarah. Dia seperti menemukan keasyikan baru. Sesuatu yang sudah lama dialaminya, terutama saat bersama Bambang, tapi dengan Tejo baru sekarang dia makin menyadarinya. Sarah suka membayangkan orang lain terangsang pada kecantikan dirinya.
Terangsangnya orang lain pada dirinya, membuat dirinya terangsang pula. Makin terlihat mupeng seseorang terhadapnya, makin terangsang pulalah dia. Karena, untuk membuat orang makin terangsang, bernafsu, dan mupeng terhadapnya, maka berarti Sarah sendiri harus makin berani ‘membuka’ dirinya.
Bukan hanya itu, dengan Tejo yang ditambahi kata-kata nakal yang menjurus dan saling berbalas, makin menambah sensasi rangsangan tersebut. Segera setelah memasuki kamar mandi dan menguncinya, Sarah langsung membuka kulit jagung pemberian Tejo. Membersihkan rambut-rambutnya hingga tersisa hanya batang jagung dengan biji-biji kuningnya yang rapat.
Dirasakan batang itu masih hangat. Jantung Sarah masih berdegup kencang, belum pernah dirinya bermasturbasi dengan batang jagung seperti itu. Dengan mentimun yang dia cari awalnya juga tidak pernah. Yang tadi itu hanya kreatifitas spontan akibat dirinya yang sedang dibakar nafsu.
Ditempelkannya batang jagung itu ke pipinya, dielus-eluskannya di sana sambil memejam matanya. Sarah berbaling rileks di bathub. Tangan satunya sibuk merangsang memeknya agar segera memproduksi pelumas alami supaya batang jagung itu bisa keluar masuk dengan lancar dalam liangnya. Jari telunjuk dan tengahnya menyusup masuk ke liang memeknya, dikeluarmasukkannya dengan pelan dan lembut.
Terkadang jarinya hanya mengelus di seputaran liangnya itu. Memijit-mijit labia dan klitorisnya hingga mulai dirasakannya kenikmatan itu. Kenikmatan yang bukan melegakan, melainkan kenikmatan yang malah makin membutuhkan pelampiasan lebih. Kenikmatan gatalnya dinding-dinding rahimnya, mengeras dan makin berkedutnya klitorisnya, menuntut sesuatu yang lebih.
Cerita Dewasa – Sarah Istri Binal Part 1
“Uuhh….” erang Sarah lirih. Jantungnya berdegup makin kencang. Matanya mulai nanar. Dieluskan pelan batang jagung dari pipi satu ke pipi lainnya. Terkadang berhenti diciumi dan dijilatinya batang itu. ”
Sekarang giliranmu ya sayang… Mau kan masuk ke dalam liangku?” digerak-gerakkan batang jagung itu di depan wajahnya seakan sedang berbicara dengannya. Matanya menatap sayu seakan sedang menggoda batang itu.
“Apa? Kamu takut gelap…? Duh gapapa lagi, kan ada tante menjaga di luar sini… Mau ya sayang?” bisiknya sambil menggoyang-goyangkan batang itu seperti sedang memainkan boneka.
“Walau gelap tapi nyaman loh di dalam sana, kamu pasti ketagihan deh… Lagian hangat, tuh badan kamu udah mulai mendingin…” dikecupinya batang jagung itu, lalu ditempelkannya lagi ke pipinya.
Dimainkannya batang jagung itu seperti anak kecil yang sedang merajuk, diusap-usapkannya ke pipinya dengan penuh penghayatan Sarah berbisik lagi, “Nah, mau ya? Masuk ya? Iya kan, tuh kamu kedinginan kan…?” Seperti orang gila saja Sarah mengajak bicara sebatang jagung.
Sarah mulai mengarahkan jagung itu ke liangnya. Tangan satunya membuka liangnya dengan kedua jari. Dihadapkannya batang jagung itu ke arah memeknya yang terbuka itu.
“Nah, asik kan? Gak nyeremin kan?” Di oles-oleskannya ujung batang jagung itu di muka liangnya.
“Kalau udah liat pasti langsung kepingin masuk deh… Dasar kamu tadi pura-pura takut, sekarang malah maksa-maksa segera masuk…!”
Sarah terus bertingkah seperti itu, baginya menyenangkan dan sensasional berlaku seperti itu. Kalau saja adegan itu direkam dan ditontonnya sendiri di keesokan hari pasti dia pun akan malu sendiri. Sarah mulai memasukkan pelan-pelan batang itu centi demi centi…
“Ouuhhh…” Kamu besar juga sayang, jadi sempit deh, makanya pelan-pelan ya masuknya…” Sarah menghentikan dorongannya saat batang itu sudah masuk separuhnya. Dilepas kedua tangannya dan dia memandangi batang jagung yang terbenam separuh di dalam liangnya itu.
Kedua tangannya bertumpu di dasar bathub lalu dinaikkannya pantatnya sambil kakinya mengangkang. Dia membuat liangnya seperti mengacung-acungkan batang jagung itu, digoyang-goyangkan pinggulnya untuk mengetes bagaimana kencangnya batang jagung itu tertanam di liangnya.
“Hi hi hi…” Tertawa geli sendiri Sarah dengan tingkahnya itu. Besarnya batang jagung itu membuat posisinya kencang di dalam memeknya yang sebenarnya sudah tidak terlalu sempit lagi.
“Apa? mau masuk semua? Iya… iyaa deeh… sabar dong…” Sarah menurunkan kembali pantatnya. Diraihnya jagung itu dan didorongnya lagi pelan-pelan hingga benar-benar terbenam seluruhnya di dalam memeknya. Dari luar yang terlihat hanya tangkainya yang cukup panjang untuk bisa dipegang dengan 3 jari.
“Horeee…. Sudah masuk semua! Pinteer…!” Sarah bertepuk tangan pelan kegirangan. Digoyang-goyangkan lagi pantatnya untuk melihat tangkai jagung itu ikut bergerak-gerak di luar sementara batang jagungnya sendiri dengan ke